gdlhub-gdl-s1-2010-m.. - Universitas Airlangga
Transcript
gdlhub-gdl-s1-2010-m.. - Universitas Airlangga
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” SKRIPSI Oleh : Marphin G. F S 070517626 DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA Skripsi Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga SEMESTER GASAL 2009/2010 PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT Bagian atau keseluruhan isi Skripsi ini tidak pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademis pada bidang studi dan/atau universitas lain dan/atau tidak pernah dipublikasikan/ditulis oleh individu selain penyusun kecuali bila dituliskan dengan format kutipan dalam isi Skripsi. Surabaya, 30 Desember 2009 Penyusun Marphin Gaspar. F.S NIM. 070517626 Skripsi Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” SKRIPSI Maksud: sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi S1 pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga. Disusun Oleh : Marphin G. F S 070517626 DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA Skripsi Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Semester Gasal 2009/2010 Halaman Persembahan Rasa syukur yang hampir tak dapat diungkapkan dengan kata-kata, memenuhi pikiran saya ketika skripsi ini selesai. Terlepas dengan kekurangan disana-sini, perjuangan mencapai titik ini bukan merupakan waktu yang singkat. Ada kelegaan yang terasa, dan itu menyenangkan. Namun, perjalanan dalam menyelesaikan skripsi ini, tidak lepas dari dukungan berbagai macam pihak. Mulai dari proses pencarian ide, pematangan, serta seruan-seruan yang menyemangati, itu semua tidak dapat timbul jika hanya saya yang bekerja didalamnya. Sekelumit kata-kata sederhana dibawah mungkin tidak dapat mewakili semua rasa. Namun setidaknya membantu pembaca untuk mengetahui mereka yang telah berjasa dalam pencapaian titik ini. o God Almighty. Penyertaan-Mu memang tiada tanding. Terima kasih untuk semua proses yang telah Engkau ijinkan untuk kami lalui. Setiap proses yang mengingatkan kami bahwa waktu tidak dapat mundur satu detik pun, dan kami harus terus maju. Thank You Jesus Christ! o Parents. Papa & Mama yang selalu mendukung dengan cara mereka masingmasing. Terima kasih untuk kesabarannya menanti anakmu yang memang agak sulit menemukan mood dalam pengerjaan skripsi. Terima kasih untuk segala macam materi, support serta omelan yang memacu penyelesaian skripsi ini. Big thanks and love y’all. o Marphin Franco Yohanes Sapulete a.k.a Koko. Seorang adik yang perkasa. Mungkin kata-kata yang dapat engkau ucapkan masih sangat minim untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam kepalamu. Mungkin setiap gerak hiperaktif dan setiap erangan kesakitan menjadi cerminan orang menilaimu. Tapi, setiap kesempatan melihat itu semua, semakin memperkuat keinginan menyelesaikan semua ini. Tak lebih agar aku dapat berbuat sesuatu yang bisa membuatmu menjadi seperti anak-anak normal lainnya. Ini buat kamu, lil’ brother. Skripsi Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga o Segenap jajaran dosen, terima kasih buat segenap kesempatan dan ilmu yang sudah diberikan. Semoga dapat berguna dengan dikemudian hari. o Pak Suko sebagai dosen pembimbing sekaligus penguji, terima kasih untuk semua waktunya. Mas IGAK dan Mba’ Titik sebagai penguji, terima kasih atas support dan tanda tangannya di lembar pengesahan.. o Rekan-rekan di kampus yang telah menjadi Pemburu Deadline Skripsi. Terima kasih atas segala bantuan, support, penjelasan atas semua pertanyaan. Semoga sukses selalu. GBU o My beloved PC. Meskipun engkau berasal dari periode SMA dan sudah tak terhitung berapa kali install ulang, pengabdian dan kontribusimu sungguh besar bagi terselesainya skripsi ini. Tak dapat dibayangkan kalau tiba-tiba engkau ‘nggondok’, nampaknya semuanya belum usai. Bahkan saat ini tertulis pun, engkau masih setia mendamping. Thanks. o CorelDraw 12, Adobe Photoshop CS2, dan Adobe Premiere Pro 1.5 yang menjadi wadah menumpahkan segala stress yang memenuhi kepala. Tanpa kalian, tidak akan ada ekspresi yang terungkap. Melalui kalian, terlahir karyakarya sederhana yang cukup memuaskan, setidaknya untuk diri sendiri. o Facebook, Deviantart dan Kaskus, obat pembunuh sepi yang tak jarang menjadi candu kala proses pengerjaan skripsi ini. Setidaknya, melalui kalian, mata ini bisa sedikit terbuka saat diperlukan untuk stand-by selama 24 jam. Cendol dong gan, tapi jangan di bata ya.. o Kawan-kawan seperjuangan di 2005. Rasanya seperti baru kemarin kita samasama melalui BSK, baik jadi peserta dan panitia. Dan sekarang, hanya segelintir orang yang bisa ditatap secara langsung. Sedangkan sisanya hanya dapat dipandang buku kenangan. Terima kasih buat semua kerjasamanya kawan. o Mantan punggawa-punggawa lab AV sekaligus, Pandu, Andri, Anggong, Wimar, Nissa, Andhonk, QiQi dan segenap AVengers yang tidak tersebutkan. Terima kasih atas supportnya mulai dari peresmian AV, berjalannya AV dan segala yang terjadi didalamnya. Tanpa kalian semua, mungkin sulit untuk menemukan tempat bertukar pikiran. Thx guys. Skripsi Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga o Kine Club FISIP-Unair dan segala isinya. Disini saat pertama aku berkenalan dan jatuh cinta lebih dan lebih lagi dengan film. Belajar produksi, editing dan sebagainya. Mungkin tanpa Kine, topik skripsi yang diangkat bukan tentang film. Thanks Kine..semoga engkau mendapat celah dan tidak tergerus waktu di belantara FISIP ini. o The Idiotas, terkhusus QiQi dan Jona yang masih eksis dalam masalah support-menyuport. Makasih buat semuanya. Qi, ojo gendeng duwek, skripsimu iku garapen.. o Atee dan Citra, tetangga sedaerah Surabaya coret, makasih juga buat bantuannya. Terima kasih buat jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ga penting..makasi buat supportnya kawan. o Pak Har-Bu Har, si empunya warung STMJ deket rumah, terima kasih telah jadi tempat cangkruk dan tempat curhat sekaligus...terima kasih sudah memberikan wadahnya.. o Intan Medis, Arum Jawa Pos dan Rizal Kahima yang sudah menjadi tag team dalam perburuan pembimbing selama beberapa semester terakhir...makasi ya buat semua pengertian dan kerjasamanya. o Nadee...sesama penggarap semiotik..terima kasih buat semua balesan sms nya sekaligus jadi tempat bertanya tentang segala hal mengenai om Barthes...lulus bareng de..thx ya..Tari, yang udah minjemin bukunya Eriyanto dan Thwaites, tenkyu ya.. o All Barista Coffee Corner, tak terkecuali aktif maupun non-aktif yang dengan cara mereka telah memberi support dalam penyelesaian skripsi ini. Eyen, Uki dan Jojo yang seperjalanan dalam finishing skripsi, akhirnya usai juga kawan...thx guys. o Winny dan Samira, rekan magang di tvOne Jakrta. Akhirnya aku berhasil menyusul kalian yang duluan jadi sarjana. Makasih supportnya ye bu.. o All family in Jakarta. Mami Lotti, Ka Ira, Ka Bobi, Ka Sinta, Shanez, Zhasha, Gaza dan Dafa serta Om Lukas dan family. Makasih udah jadi tempat berlabuh sejenak disana saat pencarian data skripsi ini. GBU all. Skripsi Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga o Bekasi corner, Rency, Desy, Ka Yohan, Yana dan segenap tante-om yang ada disana. Makasi buat support dan doanya. Desy...Rency, ayo buruan..biar nyusul lulus..GBU all... o Ka Mamad, Ka Oi dan Ka James, terima kasih buat supportnya juga, sudah minjemin motor dan menunjukkan jalan. Tanpa kalian, mungkin sampe sekarang aku masi nyasar di Jakarta. Thx a lot. o TBI fellas dan segala isinya. Terima kasih buat semua supportnya. Jujur, saat di TBI, bukan sekedar les, melainkan juga menjadi media refreshing yang optimal. Remember, no Bahasa in the class dude. o Last but no least, Pingkan Christy Shorinzie Singal a.k.a Ndut. Orang yang ada saat muncul ide mengenai tema gigolo ini. Dia menjadi penyemangat andal yang tak kenal lelah dalam menyuport sekaligus rekan yang sama-sama mengejar kelulusan. Terima kasih atas segala bantuan dan pengertiannya selama ini. Maaf kalau ada salah-salah kata baik sengaja maupun tak sengaja. GBU... Rasanya, semua yang tersebut diatas masih belum lengkap. Selalu ada yang terlewatkan. Untuk semua yang tak tersebutkan satu per satu, tukang fotokopi, abang bajaj, abang nasi goreng hingga abang parkir. Sedikit banyak, kalian telah ikut andil dalam terselesaikannya skripsi ini. Terima kasih buat kalian semua. Di akhir kata, mungkin semua ini hanya menggambarkan sekilas mengenai peran kalian selama ini. Tanpa doa kalian semua, skripsi ini mustahil untuk selesai. Semoga kalian diberkati oleh Tuhan YME. God Bless you all. Skripsi Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga “Orang kalah adalah orang yang berhenti berusaha.. Gue bukan…” -Jojo dalam Quickie Express- Skripsi Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga ABSTRAK Dalam masyarakat luas sekarang ini, seks bukanlah sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum bahwa seks juga menjadi sebuah komoditi yang diperdagangkan. Dalam perfilman, tama-tema seks sering menjadi kunci untuk menarik konsumen. Sebagai ’barang dagang’ para penjaja seks pun bermacam-macam. Mulai dari wanita, waria dan pria. Wanita dan waria sudah cukup lazim keberadaannya di masyarakat. Namun pekerja seks pria masih sangat tertutup dan sulit dijangkau oleh masyarakat. Hal inilah yang dianggkat dalm film Quickie Express. Bertolak dari fenomena tersebut di atas, maka peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimanakah representasi gigolo dalam film “Quickie Express”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penggambaran gigolo yang direpresentasikan oleh tokoh Jojo, Piktor dan Marley dalam film “Quickie Express”. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif dan menggunakan metode Semiotik dengan teori milik Barthes. Penelitian ini menggunakan denotasi dan konotasi. Unit analisis yang digunakan adalah tabel denotasi yang berisi interpretasi yang terlihat dalam scene-scene dalam film Quickie Express. Data yang primer didapat dari hasil pengamatan DVD original yang diproduksi oleh Kalyana Shira, sedangkan data yang sekunder didapat dari buku, jurnal penelitian, skripsi, dan data internet. Tinjauan pustaka yang digunakan untuk menunjang penelitian ini ada lima, yaitu Seksualitas dalam Konstruksi Sosial, Gender dan Profesi, Komersialisasi Seksualitas, Gigolo di Indonesia, Gigolo di Media, Pendekatan Semiotik Dalam Film. Hasil penelitian ini menunjukkan representasi dari gigolo mulai dari pekerjaan dan profesionalitas, gigolo dan kemerdekaannya dalam memilih klien, gigolo sebagai komunitas bawah tanah, hingga insyafnya gigolo. Gigolo juga menunjukkan bahwa meskipun ia menjadi sebuah obyek yang dibeli oleh konsumennya, namun mereka masih bisa memilih siapa konsumen yang mereka inginkan. Selain itu, profesionalitas juga mereka pegang teguh. Hal inilah yang menjadi pembeda antara pekerja seks pria dengan wanita dan waria. Keyword: Film, Semiotik, Gigolo Skripsi Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga KATA PENGANTAR Puji syukur kami naikkan ke hadirat Tuhan YME. Berkat karunia-Nya, kami berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul ”Representasi Gigolo Dalam Film Quickie Express”. Ucapan terima kasih juga kami ucapkan kepada seluruh pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi kami. Baik dukungan secara materi dan moral. Skripsi ini juga kami persembahkan untuk orang-orang yang datang dan pergi, namun selalu membantu. Kami tidak dapat menyebutkannya satu per satu, namun ucapan terima kasih selalu mengiringi kalian. Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Diharapkan kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi para pembacanya. Surabaya, 29 Desember 2009 Penulis Skripsi Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga DAFTAR ISI Abstrak Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Gambar Daftar Tabel BAB I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Masalah_______________________________ I-1 I.2. Perumusan Masalah__________________________________ I-6 I.3. Tujuan___________________________________________ I-7 I.4. Manfaat Penelitian___________________________________ I-7 I.5. Tinjauan Pustaka____________________________________ I-7 I.5.1. Seksualitas Dalam Konstruksi Sosial_____________________ I-7 I.5.2. Gender dan Profesi_________________________________ I-10 I.5.3. Komersialisasi Seksualitas____________________________ I-10 I.5.4. Gigolo di Indonesia ________________________________ I-12 I.5.5. Gigolo di Media___________________________________ I-14 I.5.6. Representasi_____________________________________ I-16 I.5.7. Pendekatan Semiotik Dalam Film______________________ I-17 I.6. Metodologi Penelitian_________________________________ I-19 I.6.1. Subyek Penelitian__________________________________ I-20 I.6.2. Teknik Pengumpulan Data____________________________ I-20 I.6.3. Unit Analisis_____________________________________ I-20 I.6.4. Teknik Analisis Data________________________________ I-20 BAB II Gambaran Umum Subyek Penelitian II.1. Perfilman di Indonesia & Seksualitas ______________________ II-1 II.2. Deskripsi Cerita Film “Quickie Express” ___________________ II-5 II.2.1. Karakter Tokoh Utama dalam Film “Quickie Express” ________ II-7 II.2.2. Karakter-karakter Pendukung dalam film Quickie Express ______ II-12 BAB III Penyajian dan Analisis Data III.1. Gigolo Sebagai Sebuah Pekerjaan _______________________ III.2. Gigolo dan Kemerdekaan Dalam Memilih Klien _____________ III.3. Gigolo Sebagai Komunitas Bawah Tanah __________________ III.4. Gigolo Insyaf _____________________________________ Skripsi Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” III-1 III-12 III-14 III-17 Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB IV Kesimpulan dan Saran IV.1. Kesimpulan ______________________________________ IV-1 IV.2. Saran __________________________________________ IV-1 Daftar Pustaka Skripsi Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 __________________________________________ I-18 Gambar 2.1 __________________________________________ II-9 Gambar 2.2 __________________________________________ II-10 Gambar 2.3 __________________________________________ II-10 Gambar 2.4 __________________________________________ II-11 Gambar 2.5 __________________________________________ II-11 Gambar 3.1 __________________________________________ III-1 Gambar 3.2 __________________________________________ III-3 Gambar 3.3 __________________________________________ III-4 Gambar 3.4 __________________________________________ III-6 Gambar 3.5 __________________________________________ III-7 Gambar 3.6 __________________________________________ III-8 Gambar 3.7 __________________________________________ III-10 Gambar 3.8 __________________________________________ III-11 Gambar 3.9 __________________________________________ III-12 Gambar 3.10 __________________________________________ III-13 Gambar 3.11 __________________________________________ III-15 Gambar 3.12 __________________________________________ III-16 Gambar 3.13 __________________________________________ III-17 Skripsi Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga DAFTAR TABEL Tabel 1.1 ___________________________________________ Tabel 3.1 ___________________________________________ Tabel 3.2 ___________________________________________ Tabel 3.3 ___________________________________________ Tabel 3.4 ___________________________________________ Tabel 3.5 ___________________________________________ Tabel 3.6 ___________________________________________ Tabel 3.7 ___________________________________________ Tabel 3.8 ___________________________________________ Tabel 3.9 ___________________________________________ Tabel 3.10 ___________________________________________ Tabel 3.11 ___________________________________________ Skripsi Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” I-4 III-2 III-3 III-5 III-6 III-8 III-9 III-10 III-13 III-14 III-15 III-17 Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Studi ini membahas mengenai representasi gigolo dalam film Quickie Express. Tokoh gigolo yang akan diteliti adalah Jojo (Tora Sudiro), Piktor (Lukman Sardi) dan Marley (Amink). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui penggambaran gigolo dalam film Quickie Express. Film, adalah salah satu karya audio visual yang bercerita mengenai sesuatu. Film sendiri merupakan salah satu media massa yang terdiri dari berbagai teknologi dan unsur-unsur kesenian yang memadukan perkembangan teknologi fotografi dan rekaman suara. Selain itu, film juga disebutkan sebagai karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid atau hasil penemuan teknologi lainnya, baik bersuara atau tidak, yang dapat dipertunjukkan dengan sistem proyeksi mekanik dan sebagainya (UU No. 8 tahun 1992 tentang Perfilman Nasional). Film juga merupakan medium ekspresi seni yang memberikan jalur pengungkapan kreatifitas dari berbagai cabang seni, serta sebagai medium budaya yang dapat melukiskan kehidupan manusia dan watak dari suatu bangsa. Selain itu, film juga merupakan sarana untuk mengekspresikan diri bagi pembuatnya. Sebagai salah satu media hiburan, film telah mendapat tempat tersendiri di tengah masyarakat. Tidak hanya sebagai hiburan, film juga Skripsi I-1 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga merupakan media untuk merepresentasikan kenyataan yang sebenarnya terjadi di tengah masyarakat. (Dewan Film Nasional,1994:16) Film sebagai salah satu tampilan media massa tempat menciptakan realitas, sesungguhnya memiliki makna yang tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan relasinya dalam masyarakat. Film merupakan media yang mampu memberikan pengaruh pada masyarakat, karena dapat meniru kenyataan pesan yang ia bawa hingga mudah dicerna dan dipahami, bahkan oleh orang-orang yang berpikiran sederhana sekalipun, dan film telah berhasil mengubah cara kita menanggapi lingkungan kita. Sebagai refleksi realitas sosial, film sering kali menjadi tolak ukur gambaran peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Namun, pada kenyataannya, perkembangan film di Indonesia kurang memperhatikan hal-hal tersebut. Seringkali yang menjadi tujuan utama hanyalah profit semata. Hal ini pula yang membuat sutradara seringkali harus mengorbankan idealismenya (Mawardhani,2005:2). Pada tahun 1950, Usmar Ismail tampil sebagai wakil seniman film baru yang idealis. Beliau ingin menggunakan film sebagai media ekspresi seni dan intelektual semata, jauh dari komersialisme. Namun langkahnya terjegal oleh kalangan yang tetap ingin menjadikan film sebagai usaha dagang semata. Para oknum-oknum yang ingin meraup keuntungan dari film inilah yang membuat film-film sesuai dengan selera penonton kelas bawah. Ternyata hal ini tidak menjadi solusi, sehingga pada tahun 1957 industri film Indonesia menyatakan bangkrut. (Dewan Film Nasional,1994:10) Skripsi I-2 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Memasuki orde baru, industri perfilman Indonesia mencoba untuk bangkit kembali. Ada dua “resep rahasia” yang digunakan untuk membangkitkan perfilman Indonesia: kekerasan dan seks. Adegan seks, kekerasan, dan kemewahan dalam film nasional menjadi resep klasik untuk menarik minat penonton. Hal ini didukung pula oleh pemerintah dengan memperlonggar sensor (Dewan Film Nasional,1994:11). Salah satu produsen film yang menggunakan resep ini dalam perfilman Indonesia adalah PT Inem Film. Pada awal tahun ‘70-an, adegan ciuman ataupun seks dalam film-film lokal banyak yang "diloloskan" oleh gunting sensor. Hal ini bertujuan tidak lain demi menarik minat penonton terhadap film nasional (Mawardhani,2005:3). Tidak dipungkiri bahwa memang hal ini cukup manjur untuk meningkatkan minat para penonton film di Indonesia. Seperti pada periode 1993-1997, saat perfilman Indonesia didominasi oleh oleh tema “esek-esek” dan kekerasan dengan judul-judul film seperti Bebas Bercinta, Ranjang Cinta, Gairah Terlarang, Gejolak Nafsu, Permainan Erotik, Sentuhan Erotik, Nafsu Liar, selingkuh, ecstasy dan Pengaruh Sex, Sensualitas Wanita, Kekasih Gelap dan masih banyak lagi (Katalog Film Indonesia 19262007: xxii). Film-film seperti ini akhirnya malah mendapat protes keras dari kalangan masyarakat yang mendesak Badan Sensor Film untuk segera memperketat guntingannya. Pada pertengahan tahun 1990-an terkesan ada kelesuan produksi film nasional. Bahkan pers ikut menyatakan bahwa pada periode setelah pertengahan 1990-an sampai awal 2000-an merupakan periode mati suri perfilman nasional. Skripsi I-3 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Padahal, kenyataan berkata lain. Jika dilihat dari jumlah film yang diproduksi, pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar. TAHUN 199 4 1995 1996 1997 1998 & 1999 2000 200 1 200 2 200 3 2004 JUMLAH FILM 26 22 34 32 4 11 3 14 15 31 Tabel 1.1 Jumlah Film yang diproduksi dalam periode 1994-2004 (berdasar data lolos sensor dari Lembaga Sensor Film) Dari data diatas bisa dilihat bahwa film nasional tidak pernah berhenti produksi. Kesan mati suri timbul karena film-film tersebut tidak tampak pada bioskop-bioskop besar (Katalog Film Indonesia 1926-2007 : xxi). Ditambah lagi dengan meningkatnya teknologi VCD yang membuat film-film impor menjadi semakin menjamur. Teknologi ini secara tidak langsung membuat bioskopbioskop di tingkat kabupaten menjadi gulung tikar dan tergantikan oleh bioskop Jaringan 21 yang memasuki mal-mal di tingkat ibukota provinsi. Pada periode ini pula film-film yang mengangkat tema “esek-esek” tersingkir dari bioskopbioskop Jaringan 21 tersebut. Hal ini disebabkan oleh pergeseran karakteristik penonton dari masyarakat bawah menjadi para remaja pengunjung-pengunjung mal. Para pengunjung ini pada periode sebelumnya menempati tingkatan atas dari para penonton bioskop. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa tema-tema seksualitas menjadi daya tarik tersendiri di kalangan masyarakat Indonesia. Tetapi dengan ancaman gunting sensor yang semakin ketat, tema seksualitas ini dipadukan dengan tema-tema lain Skripsi I-4 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga agar tidak terlalu terlihat vulgar. Hal seperti ini nampaknya sudah menjadi sesuatu yang lazim dalam perindustrian perfilman tanah air. Jika sedikit menilik ke belakang, pada tahun 80-an, trio Warkop DKI membintangi sejumlah film yang bertema komedi seks. Gengsi Dong (1980), IQ Jongkok (1981), Dongkrak Antik (1982), Maju Kena Mundur Kena (1983), Bebas Aturan Main (1993) dan sejumlah judul yang pernah menghiasi perfilman di Indonesia. Selain tema komedi, seksualitas juga disandingkan dengan tema horror mencekam. Seperti komedi-seks, tren film seperti ini pernah ditawarkan pada film-film yang pernah dibintangi oleh Suzana (Perkawinan Nyi Blorong, Sundel Bolong, Malam Satu Suro) dan Sally Marcelina (Misteri Wanita Berdarah Dingin, Tamu Tengah Malam, Putri Kuntilanak). Ternyata, tema-tema yang sudah pernah diangkat tersebut masih dicoba untuk diproduksi kembali. Hasilnya adalah beberapa judul film yang menawarkan erotisme antara lain adalah ML (Mau Lagi), Kawin Kontrak dan XL (Xtra Large). Untuk horor, bisa dilihat pada Genderuwo, Beranak Dalam Kubur, dan Terowongan Casablanca. Ditengah horor yang tersebar di Indonesia, hadirlah film Quickie Express (2007) yang membawa angin segar di perfilman Indonesia. Film ini bercerita mengenai kehidupan Jojo (Tora Sudiro), seorang pria lajang yang tidak memiliki materi yang berkecukupan. Hal ini pula yang membuat Jojo terus berusaha. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Om Mudakir (Tino Saroengallo) yang menawarinya pekerjaan di perusahaan “layanan escort” milik Mudakir. Disana Jojo bertemu dengan Piktor (Lukman Sardi) dan Marley (Amink). Perjalanan ketiga orang pemuda ini yang menjadi inti daripada film ini. Skripsi I-5 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Jojo sebagai tokoh utama yang pada awalnya menentang untuk menjadi seorang gigolo, akhirnya pasrah dan menjadi primadona lantaran terpengaruh gelimang harta yang didapatnya. Sampai akhirnya Jojo dihadapkan pada kenyataan bahwa ia jatuh cinta dengan anak dari salah satu pelanggannya yang bersuamikan seorang mafia bernama Jan Pieter Gunarto (Rudy Wowor). Keadaan perekonomian yang semakin meghimpit secara tidak langsung membuat cara pandang, sikap dan perilaku seksual menjadi bergeser. Ternyata gelimang harta dan hedonisme dapat memberi efek masif bagi beberapa kalangan. Berdasarkan hal inilah peneliti tertarik untuk melihat bagaimana penggambaran gigolo dalam film “Quickie Express”. Salah satu alasan mengapa topik ini yang dipilih adalah pembahasan mengenai gigolo dalam Quickie Express belum pernah ada. Sedangkan alasan mengapa film Quickie Express yang menjadi objek penelitian adalah film tersebut adalah satu-satunya film Indonesia yang berani mengangkat dan bercerita secara gamblang mengenai gigolo, mulai dari pekerjaan sampai dengan kehidupan sehari-harinya. I.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka rumusan masalah yang diangkat adalah : Bagaimanakah representasi gigolo dalam film “Quickie Express”? Skripsi I-6 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga I.3. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui penggambaran gigolo dalam film Quickie Express I.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk pengembangan, pengayaan dan pendalaman kajian komunikasi. Selain itu dapat menjadi masukan tersendiri bagi para pembuat film Indonesia. I.5. Tinjauan Pustaka I.5.1. Seksualitas Dalam Konstruksi Sosial Berger dan Luckman dalam Tafsir Sosial Atas Kenyataan menafsirkan konstruksi sosial sebagai pengetahuan yang dibangun atas realitas yang dilihat berdasar struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Mereka juga membedakan pemahaman dari realitas dan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat dalam realitas yang diakui dan tidak tergantung pada kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas tersebut nyata. Selain itu, Berger dan Luckman juga mendefinisikan bahwa realitas sosial adalah pengetahuan yang bersifat keseharian, yang hidup dan berkembang di masyarakat. Terdapat 3 proses dalam konstruksi sosial yaitu: Eksternalisasi adalah usaha ekspresi diri manusia ke dalam dunia luar, baik kegiatan mental maupun fisik. Momen itu bersifat kodrati manusia. Ia Skripsi I-7 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga selalu mencurahkan diri ke tempat di mana ia berada. Ia ingin menemukan dirinya dalam suatu dunia, dalam suatu komunitas. Objektivikasi adalah hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia. Hasilnya berupa realitas objektif yang terpisah dari dirinya. Bahkan, realitas objektif yang dihasilkan berpotensi untuk berhadapan (bahkan mengendalikan) dengan si penghasilnya. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif individual. Realitas objektif menjadi kenyataan empiris, bisa dialami oleh setiap orang dan kolektif. Internalisasi adalah penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran subjektif sedemikian rupa sehingga individu dipengaruhi oleh struktur sosial atau dunia sosial. (Muslich, 2008 :152) Manusia sebagai bagian dari masyarakat juga membangun perspekifnya sendiri melalui apa yang dia tangkap dari kenyataan. Manusia memiliki berbagai macam kebutuhan. Mulai dari kebutuhan akan pangan, papan (tempat tinggal), sandang (pakaian) hingga kebutuhan akan seks. Hal ini pula yang membuat seks menjadi topik yang kontroversial dan menarik sepanjang masa (Kadir,2007:1). Seks sendiri dapat lepas dari kebutuhan individu dan berubah menjadi sebuah fenomena ditengah masyarakat. Seks bukan lagi suatu hal yang dapat dilakukan oleh sepasang suami-istri di dalam sebuah kamar namun lebih dari itu. “Fenomena seks pada abad 21 adalah sesuatu yang dinamis penuh dengan ancaman, malu-malu kucing, suka sama suka, paksaan bahkan hingga kekerasan.” (Kadir, 2007:5) Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa fenomena seks pada abad 21 telah bergeser dari esensi awalnya. Seksualitas pun mengalami transformasi dari Skripsi I-8 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga sesuatu yang bersifat pribadi menjadi suatu publisitas yang dapat dinikmati masyarakat luas. Aris Arif Mundayat dalam Seks: Wilayah yang Diperebutkan dan Dikontestasikan mencatat bahwa seksualitas tidak lepas dari 7 topik besar, yaitu: Virginitas Komoditas Nafsu (Commodity of Lust) Perkawinan (Moral Sexuality) dan Promiskuitas (Profane Sexuality) Fungsi kekerabatan (Kebutuhan akan kerabat serta penolakan terhadapnya) Disiplinasi Moralitas, melalui tubuh dan liberasi tubuh Sumber Nilai Moral: Agama dan Kesakralan Wacana Patriarki (Kadir,2007:7) Jika sedikit melihat kebelakang, sejarah dan seksualitas berjalan beriringan. Mulai dari gaya berpakaian terbuka yang digunakan oleh perempuan di Mesir, ketelanjangan yang menjadi sebuah simbol sikap lemah lembut dan murah hati, serta kebudayaan Romawi yang menganggap ketelanjangan adalah sesuatu yang legal. Bahkan, pada abad pertengahan, keperawanan dikomoditikan kepada seorang perempuan sebagai barang komersial (Kadir:2007:8). Hal ini menunjukkan bahwa komoditas nafsu sudah terjadi semenjak dulu. Fenomena ini tetap abadi hingga saat ini dengan begitu banyaknya tempat prostitusi dan berbagai jenisnya yang berada di tengah masyarakat. Pada penelitian ini, komoditas nafsu yang menjadi sebuah tema besar yang akan dibahas. Skripsi I-9 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga I.5.2 Gender dan Profesi Ditengah masyarakat sudah terbentuk mindset mengenai gender dan profesi yang lazim untuk dilakukan. Hal ini sudah ditekankan kepada setiap individu semenjak dahulu, dimana pria harus menjadi seorang pemimpin keluarga dan wanita mendukungnya dari belakang. Sebagai contoh, seorang ayah (laki-laki) haruslah mencari pekerjaan diluar dan bertanggung jawab terhadap keluarga. Sedangkan seorang ibu (perempuan), tinggal dirumah, mengurus anak dan memasak. Seorang ayah juga dituntut untuk bersifat maskulin (andro), sedangkan ibu dituntut untuk bersifat feminin (gyne). Selain itu figur laki-laki yang maskulin seringkali dikaitkan dengan sektor publik, dan sebaliknya seorang perempuan dikaitkan dengan sektor domestik. Karena seorang laki-laki berada pada sektor publik yang notabene berhubungan dengan banyak orang, maka masalah perjaka atau tidak bukanlah menjadi permasalahan yang penting dan tabu bagi laki-laki. Lain halnya dengan keperawanan dalam pandangan laki-laki, yang dianggap penting. (Kadir, 2007:13). Ironisnya, saat seorang pekerja seks pria yang pada dasarnya dipenuhi dengan ego dan hirarki kekuasaan terhadap perempuan, harus tunduk kepada konsumennya yang notabene adalah perempuan. Tentu saja hal ini menjadi menarik untuk dilihat dalam penggambaranya di film Quickie Express. I.5.3.Komersialisasi Seksualitas Komersialisasi seksualitas bukan merupakan hal baru di tengah masyarakat. Fenomena ini sudah terjadi semenjak abad pertengahan, dimana keperawanan bisa Skripsi I-10 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga menjadi sebuah alat tukar dalam perdagangan (Kadir, 2007:8). Munculnya pekerja seks di Indonesia tidak lepas dari perdagangan global pada abad 17-18. Saat para pedagang dari luar tiba di Indonesia, mereka mencoab melakukan transaksi seksual. Hal ini disambut baik oleh penduduk pribumi (Kadir, 2007:163). Hal ini pun terus berkembang, hingga pada saat ini. Seksualitas di komersilkan melalui berbagai bentuk. Baik melalui bisnis “jual beli” kenikmatan, sampai dengan pengangkatan tema-tema mengenai seksualitas pada media. Dapat kita lihat pada jumlah film porno yang beredar, majalah porno, dan film-film yang tidak termasuk dalam kategori tripel X namun mengangkat mengenai tema seksualitas dan dipadukan dengan tema horor dan komedi. Ronald Weitzer dalam Sex for Sale menuliskan: Sex for sale is a lucrative growth industry. In 2006 alone, Americans spent $13.3 billion on X-rated magazines, videos and DVDs, live sex shows, strip clubs, adult cable shows, computer pornography, and commercial telephone sex. Rentals and sales of X-rated films jumped from $75 million in 1985 to $957 million in 2006. (Weitzer, 2010: 1) Hal ini menunjukkan bahwa seksualitas menjadi sebuah lahan yang sangat menguntungkan jika dilihat dari segi bisnis. Dengan ketertarikanmasyarakat yang begitu besar, tentunya akan mendatangkan keuntungan yang berlipat ganda bagi mereka yang bergerak di bidang tersebut. Pekerja seks secara global juga diterima oleh International Labour Organization (ILO) karena telah memenuhi syarat untuk disebut sebagai sebuah pekerjaan (Kadir, 2007:157). Para pekerja seks yang ada di tengah masyarakat dapat dikategorikan menjadi 3 bagian yaitu pekerja seks wanita, pekerja seks waria, dan pekerja seks pria (gigolo). Yang sangat mudah dijumpai di tengah masyarakat adalah pekerja Skripsi I-11 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga seks wanita dan waria. Seringkali, para pekerja seks wanita sudah dilokalisir ke dalam satu tempat (seperti Dolly di Surabaya, Sunan Kuning di Semarang dsb.). Namun tidak jarang masih ada yang bergerak secara individual. Hal ini berbeda dengan pekerja seks waria dan pekerja seks pria yang tidak dilokalisir. Gigolo, justru lebih individual, terpencar dan lebih tersembunyi. (Kadir,2007:144). Ada beberapa alasan yang menjadi latar belakang hadirnya profesi ini, antara lain: Kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan hidup Ketidakpuasan terhadap pekerjaan yang tegah dilakukan dan penghasilan yang diangap belum cukup Kecerdasan yang tidak cukup untuk memasuki sector formal Latar belakang kerusakan atau ketidakutuhan dalam kehidupan berkeluarga Tidak puas dengan kehidupan seksualnya Memiliki cacat secara badaniah (Kadir,2007:171) I.5.4. Gigolo di Indonesia Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia gigolo berarti laki-laki bayaran yg dipelihara seorang wanita sebagai kekasih; 2 laki-laki sewaan yg pekerjaannya menjadi pasangan berdansa. Pada kenyataannya, para gigolo tidak hanya berdansa di lantai dansa, melainkan juga ‘berdansa’ di atas ranjang. Thung Ju Lan, sosiolog Universitas Indonesia megatakan bahwa gigolo ,merupakan suatu gejala yang wajar berkembang, dimana penyimpangan tersebut menyangkut cara bersaing. Dalam jasa ‘jual tubuh’ ini juga menyangkut kepuasan pelayanan, penjualan, Skripsi I-12 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga pengabaian perasaan emosional, dan hubungan transaksi demi mencapai nilai nominal yang disepakati. (Kadir, 2007 :156). Keberadaan gigolo di Indonesia nyaris tidak terdeteksi di tengah masyarakat karena sangat tertutup. Gigolo bekerja pada tataran menengah keatas. Selain itu, mereka memiliki daya tawar (bargaining power) dalam memilih pelanggannya. Terutama bagi pelanggan yang memelihara mereka. Berbeda dengan pekerja seks wanita yang tidak memiliki daya tawar terhadap siapa konsumennya, gigolo bisa menolak pelanggan yang dianggap tidak memenuhi kriterianya. Dari sini, dapat dilihat bahwa dalam dunia pekerja seks, pria masih menganut sistem patriarkal (Kadir,2007:144). Meskipun mereka dibayar untuk memuaskan pelanggannya, namun posisi mereka masih tetap diatas para konsumennya. Ternyata meskipun dalam dunia pekerja seks, terlihat adanya relasi seksualitas yang bersifat hirarkis dalam mengontrol seksualitas perempuan. Selain mendapat upah berupa uang, gigolo juga seringkali mendapat imbalan berupa barang dan rekreasi gratis. Sedangkan untuk menjaga tubuhnya, gigolo mengkonsumsi jamu-jamuan serta aktif berolahraga. Dalam pelayanan, gigolo secara profesional akan menuruti kemauan dari pihak klien. Selain itu, sesama gigolo berlaku peraturan tidak tertulis bahwa sesama gigolo tidak boleh ada persaingan dan tidak boleh saling menyerobot klien milik orang lain. Bagi gigolo, cinta terhadap klien harus dihindari, karena dapat mengganggu pekerjaannya dikemudian hari (Lestari, 2008: II:24-25; 37-38). Motivasi menjadi gigolo bisa berbagai macam. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan denok Puji Lestari pada tahun 2008, pria yang memilih menjadi Skripsi I-13 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga gigolo ingin memiliki uang yang banyak, ingin bersenang-senang, serta diperkenalkan oleh teman mereka sendiri. Uang, bisa dikategorikan sebagai motif external, sedangkan kesenangan dan kepuasan batin, merupakan motif internal. Para gigolo cenderung memiliki kedekatan emosional dengan pelanggan. Namun, disisi lain, mereka menolak untuk jatuh cinta pada pelanggan, dengan alasan profesionalitas. Mereka biasanya menjalankan tugasnya di sebuah hotel yang disepakati, atau di luar kota. Kemampuan gigolo untuk membaca karakter dari pelanggan merupakan salah satu nilai tersendiri dalam bisnis ini. Selain itu, hubungan antara sesama gigolo cenderung baik serta persaingan berlangsung sehat. I.5.5. Gigolo di Media Di dalam perfilman Indonesia, tema seksualitas bukan merupakan hal baru. Beberapa judul film yang mengangkat mengenai tema tersebut sempat menghiasi bioskop di Indonesia. Sebut saja Bebas Bercinta, Ranjang Cinta, Gairah Terlarang, Gejolak Nafsu, Permainan Erotik, Sentuhan Erotik, Nafsu Liar, selingkuh, ecstasy dan Pengaruh Sex, Sensualitas Wanita, Kekasih Gelap dan masih banyak lagi (Katalog Film Indonesia 1926-2007: xxii). Yang terlihat dari sejumlah judul diatas, yang menjadi komoditi dalam film tersebut adalah wanita. Padahal, dalam kenyatannya, tema seksualitas juga dapat diangkat dari sudut pandang berbeda, seperti pekerja seks pria (gigolo). Entah mengapa penggambaran gigolo dalam media di Indonesia masih sangat jarang. Sedangkan jika kita melihat film-film yang menceritakan mengenai pekerja seks pria di luar negeri, ternyata cukup banyak. Judul-judul film tersebut Skripsi I-14 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga antara lain adalah American Gigolo (1980), My Own Private Idaho (1991) Endgame (2001) (Brock, 2006:161). Selain itu, film mengenai gigolo yang dipadukan dengan komedi adalah Deuce Bigalow: Male Gigolo (1999) dan Deuce Bigalow: European Gigolo (2005). Di Indonesia, film yang secara jelas dan gamblang menggambarkan mengenai gigolo dan kehidupannya adalah film Quickie Express. Berikut jawaban Dimas Djayadiningrat sebagai pembuat film ketika ditanya mengapa gigolo yang diangkat dalam filmnya: ...Dan gigolo sebenarnya menarik karena di saat pria yang dengan sejuta egonya, sejuta harga dirinya menjalankan pekerjaan itu, maka seluruh ego dan harga diri itu hilang. Dia dibayar, jadi harus jauh-jauh membuang harga dirinya dan egonya. Profesi gigolo nggak semudah yang kita pikir: datang langsung hajar…(http://www.antara.co.id) Dengan latar belakang tersebut, film Quickie Express berhasil dibuat. Suatu hal yang menarik untuk diteliti, ketika sebuah tema yang sebelumnya tidak pernah atau jarang diangkat ke media hadir ditengah-tengah masyrakat. Film luar negeri yang serupa dengan Quickie Express adalah Deuce Biggalow, baik Male Gigolo dan European Gigolo. Dalam Deuce Bigalow: Male Gigolo, Deuce, seorang pemuda yang bekerja sebagai pembersih kolam tiba-tiba beralih profesi menjadi seorang gigolo karena terbelit hutang. Sedangkan pada Deuce Bigalow: European Gigolo, dikisahkan kelanjutan hidup dari Deuce yang ternyata tetap menjadi gigolo. Dalam seri ke-2 film Deuce Bigalow ini juga diperlihatkan saat seluruh gigolo dari penjuru dunia berkumpul. Bahkan mereka mengadakan acara penganugrahan gigolo terbaik. Hal ini terlihat bahwa gigolo di Eropa tidak lagi Skripsi I-15 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga tertutup. Mereka sudah berani tampil di tengah masyarakat. Hal ini berbeda dengan keadaan gigolo di Indonesia yang masih sangat tertutup. I.5.6. Representasi Representasi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah perbuatan mewakili, keadaan diwakili serta apa yang mewakili. Menurut Eriyanto, di dalam media representasi merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan (Eriyanto, 2001:113). Dua hal yang penting dalam representasi adalah apakah seseorang, kelompok, gagasan atau pendapat tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya (secara berimbang, atau hanya sisi buruknya saja) dan bagaimanakah representasi tersebut ditampilkan dan siapa yang menampilkan (melalui kata, kalimat, foto). Representation refers to the construction in any medium (especially the mass media) of aspects of ‘reality’ such as people, places, objects, events, cultural identities and other abstract concepts. Such representations may be in speech or writing as well as still or moving picture. (Media representation, http://www.aber.ac.uk) Menurut Fiske dalam Television Culture, ada tiga proses dalam menampilkan representasi suatu objek dalam media: o Level pertama: Bagaimana peristiwa ditandakan. Dalam bahasa gambar, seringkali aspek ini dihubungkan dengan pakaian, lingkungan, ucapan dan ekspresi. o Level kedua: Bagaimana realitas digambarkan. Dalam bahasa gambar, alat tersebut berupa kamera, pencahayaan, editing atau musik. o Level ketiga: Bagaimana peristiwa tersebut diorganisir dalam konvensi yang diterima di dalam masyarakat. (Fiske, 1999:5) Skripsi I-16 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Stuart Hall menyatakan bahwa proses representasi terbagi atas dua bagian. Pertama, representasi mental, yaitu sesuatu yang terbentuk dalam kepala kita. Kedua, representasi bahasa, yang berperan penting dalam konstruksi makna. Representasi mental diterjemahkan melalui bahasa, untuk kemudian menghubungkan konsep mengenai simbol-simbol tertentu. I.5.7. Pendekatan Semiotik Dalam Film Semiologi atau yang lebih dikenal dengan semiotika merupakan suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Pandangan yang mendasari semiotik sendiri dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure dan C.S Pierce. Sausure berpendapat bahwa semiotik adalah sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat. Saussure sendiri membagi tanda (sign) menjadi signifier dan signified. Signifier adalah tanda yang kita lihat atau dengar. Sedangkan signified adalah mental konsep yang terbentuk dalam pikiran manusia. “The signifier is the sign’s image as we perceive it—the marks on the paper or the sounds in the air; the signified is the mental concept to which it refers.”(Fiske, 1996: 44) Contohnya, saat kita melihat seekor hewan berkaki empat yang menyalak (signifier), dalam pikiran kita akan langsung mendefinisikan hewan tersebut adalah seekor anjing (signified). Jika digambarkan, bagan mengenai tanda (sign) dan hubungannya dengan signifier dan signified adalah seperti dibawah ini Skripsi I-17 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga SIGN SIGNIFIER SIGNIFIED Gambar1.1 Tanda menurut Saussure (Turner, 1999:55) Dasar dari analisis Saussure terletak pada dua level yaitu level denotasi dan konotasi. Level denotasi adalah proses identifikasi terhadap suatu objek berdasarkan indra kita. Level denotasi ini merupakan petanda pertama dalam proses signifikasi. Pada saat kita melihat seekor hewan yang berbulu, berkaki empat dan menyalak merupakan hewan bernama anjing, atau saat kita melihat huruf A,N, J, I, N dan G membentuk suatu kata, ini adalah proses identifikasi. Sedangkan level konotasi adalah petanda kedua dalam proses signifikasi, dimana setelah proses indentifikasi terjadi, kita terkadang memiliki pemahaman yang berbeda mengenai suatu objek. Bagi para pecinta binatang, ketika melihat seekor anjing yang sedang duduk, maka mereka akan berpikiran bahwa anjing tersebut tidak berbahaya. Teori yang dikemukakan oleh Saussure ini kemudian dikembangkan oleh penerusnya, Barthes. Hampir sama dengan Saussure, dalam teori yang dikemukakan oleh Barthes menggunakan denotasi dan konotasi. Hanya saja, dalam teori Barthes denotasi dan konotasi tidak hanya sekedar petanda melainkan sekumpulan petanda. Selain itu, Barthes juga menambahkan myths. Nick Lacey dalam Image and Representation: Key Concepts In Media Studies memberi contoh mengenai teori ini dengan mawar. Mawar, dapat membentuk konsep Skripsi I-18 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga mental dari romantisme terutama jika mawar tersebut berwarna merah dan dikaitkan dengan perayaan hari Valentine. Romantisme adalah mitos yang berarti hubungan percintaan antara pria dan wanita dalam bentuk kelembutan dan perhatian. Hampir tidak mungkin untuk memahami ‘bunga mawar merah dalam perayaan Valentine’ yang melambangkan romantisme. Dalam hal ini terjadi proses konotasi yang menjadi denotasi. Mitos adalah konotasi yang ditampilkan sebagai denotasi (Lacey, 1998: 68). Dalam film, sebuah scene dapat dilihat secara denotasi dengan melihat isi dari scene tersebut, baik dialog, suara (ambience), angle, kostum dan lain sebagainya. Sedangkan konotasi dapat dilakukan berdasarkan dengan frame of reference dan frame of experience dari masing-masing audience. Setiap unsur dalam film mempengaruhi pemaknaan individu, menghasilkan pemaknaan yang berbeda-beda. Baik setting, kostum, dialog, tokoh dan karakternya dapat diinterpretasikan secara personal oleh masing masing audience. I.6. Metodologi Penelitian Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan tipe penelitian ini adalah deskriptif, dimana peneliti berusaha untuk menggambarkan bagaimana gigolo direpresentasikan melalui sistem tanda dalam film “Quickie Express” oleh tokoh Jojo. Skripsi I-19 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan metode analisis semiotik. Semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur,2004:15). Dengan menggunakan metode semiotik, peneliti berusaha menggali realitas real yang didapatkan melalui interpretasi simbol-simbol dan tanda-tanda yang ditampilkan sepanjang film. I.6.1. Subyek Penelitian Subyek yang digunakan adalah film Quickie Express, khususnya tokoh Jojo, Piktor dan Marley yang menjadi tokoh utama gigolo. I.6.2. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengamatan terhadap film Quickie Express dalam kepingan DVD original. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan buku, skripsi, data internet dan lain sebagainya sebagai penguat data sekunder. I.6.3. Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini adalah tabel mengenai denotasi yang berisi interpretasi yang terlihat dalam scene-scene dalam film Quickie Express. I.6.4. Teknik Analisis Data Analisis semiotik dilakukan dengan mengamati sistem tanda (sign) dalam film. Sign yang disimbolkan dalam film “Quickie Express” kemudian dimaknai dan diinterpretasikan menggunakan semiotik Barthes melalui Denotasi dan Konotasi. Peneliti tidak menggunakan Myth disebabkan karena penelitian mengenai representasi gigolo dalam film masih ajrang dilakukan. Hasil interpretasi tersebut didasarkan pada frame of reference dan field of experience Skripsi I-20 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga peneliti yang nantinya akan dihubungkan dengan acuan kepustakaan yang telah ditulis sebelumnya. Skripsi I-21 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB II GAMBARAN UMUM SUBYEK PENELITIAN II.1. Perfilman Indonesia & Seksualitas Film adalah rangkaian gambar bergerak dan bersuara yang ditata sedemikian rupa sehingga menceritakan mengenai sesuatu. Dalam sebuah film, biasanya terkandung pesan-pesan tertentu yang ingin disampaikan oleh pembuat film yang bersangkutan, dengan caranya masing-masing. Bahasa film merupakan kombinasi antara bahasa suara dan bahasa gambar. Film juga disebut sebagai salah satu karya seni budaya audio-visual yang dibuat berdasarkan sinematografi, yang direkam dengan pita seluloid atau dengan segala penemuan teknologi lain yang ditampilkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik dan sebagainya (Dewan Film Nasional,1994:15). Film selain dianggap sebagai medium komunikasi, juga berfungsi sebagai medium ekspresi seni yang dapat melukiskan kehidupan manusia dan watak dari suatu bangsa. Bagi artis, film dianggap sebagai sarana ekspresi seni dan sarana pemenuhan kebutuhan hidup. Sedangkan bagi penonton, film merupakan media untuk hiburan sekaligus untuk menambah pengetahuan. Perfilman Indonesia pada dasarnya memiliki sejumlah tujuan, antara lain, sebnagai peningkatan kecerdasan bangsa, memelihara ketertiban umum dan rasa kesusilaan, pengembangan nilai budaya Indonesia dan sebagai penyaji hiburan yang sehat sesuai norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (UU No. 8 Tahun 1992). Skripsi II-1 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Sejarah film dunia dimulai tepatnya pada tanggal 28 Desember 1895. Ketika itu Lumiere bersaudara telah mengadakan pemutaran film di hadapan publik, yang bertempat di Cafe de Paris. Kejadian unik terjadi saat gambar lokomotif yang sedang melaju kearah penonton membuat sebagian penonton berlari dan bersembunyi dibawah kursi (Biran, 2009:XV). Sedangkan di Indonesia, gambar hidup (gambar idoep) mulai dikenal oleh masyarakat pada awal abad ke-20. Sebelum film menjadi hiburan yang dikenal di tengah masyarakat, telah ada berbagai pertunjukan-pertunjukan panggung serupa dengan opera yang disebut dengan Opera Stambul. Pada awalnya, film bagi kaum pribumi umumnya ditujukan bagi kelas pekerja. Bahan ceritanya biasanya diadopsi dari pertunjukan-pertunjukan panggung seperti yang dibawakan dalam Opera Stambul. Berbagai cara ditempuh untuk menarik penonton. Musik, tarian dan perkelahian berberapa alternatif untuk memuaskan penonton. Hal ini juga bukan tanpa sebab. Pada waktu itu, yang menjadi tujuan utama adalah uang dengan ‘sedikit’ memberi hiburan. Film lokal yang pertama kali dibuat adalah Loetoeng Kasarung pada tahun 1926. Film tersebut merupakan film cerita pertama di Indonesia, dengan para pemain di dalamnya adalah orang pribumi. Setelah itu, semakin banyak produksi film-film lokal. Antara lain adalah Eulis Atjih (1927), Resia Borobodoer (1929), Njai Dasima (1929) Boenga Roos dari Tjikembang (1931), Lari ke Arab (1930), Indonesia Malaise (1931), SiPitung (1931) dan masih banyak lagi. Hingga pada tahun 1938, dimana film Terang Boelan berhasil membuat gebrakan dalam sejarah film di Indonesia (Biran, 2009: 25). Terang Boelan berhasil menarik Skripsi II-2 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga penonton dan meraup untung. Film tersebut dibuat dengan orientasi kepada selera publik, tanpa mengemban idealisme tertentu. Seusai perang kemerdekaan, tepatnya di awal 1950, Usmar Ismail ingin melahirkan film nasional yang memiliki ciri kepribadian Indonesia. Film tersebut berhasil terwujud dan berjudul Darah dan Doa. Untuk lebih memperkenalkan dan mengangkat derajat film Indonesia, maka diadakanlah Festival Film Indonesia. (FFI). FFI sendiri dipelopori oleh Djamaludin Malik. FFI untuk pertama kali diadakan pada tanggal 30 Maret -5 April 1955. FFI pun berjaya pada era 1970 sampai akhir 1980 (Pontianak Post, 14 Desember 2004). Pada tahun 1992 FFI dihentikan sementara. Meskipun perfilman Indonesia mengalami pasang surut, dan bahkan sempat menyatakan bangkrut (pada tahun 1957), film Indonesia tidak pernah berhenti berproduksi. Kesan ‘mati suri’ timbul karena sejumlah film yang diproduksi tersebut tidak memasuki gedung-gedung bioskop besar (Katalog Film Indonesia 1926-2007: xxi). Dan untuk menghilangkan kesan ‘mati suri’ tersebut, sekaligus mengangkat produksi film di Indonesia, maka pemerintah mengambil keputusan untuk mengurangi ketatnya gunting sensor. Hal ini berdampak pada maraknya film-film yang bertemakan seks dan kekerasan pada tahun 70-an. Tema ini masih menjadi senjata ampuh bagi pembuat film hingga pada sekitar periode 1993-1997 (Katalog Film Indonesia 1926-2007: xxii). Untuk menghindari dampak gunting sensor, para pembuat film memadukan tema-tema seks tersebut dengan tema-tema komedi (komedi-seks). Hal ini dapat dilihat pada film-film yang dibintangi Warkop DKI seperti Gengsi Skripsi II-3 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Dong (1980), IQ Jongkok (1981), Dongkrak Antik (1982), Maju Kena Mundur Kena (1983), Bebas Aturan Main (1993). Selain itu, tema horor juga ikut dikombinasikan dengan tema seks. Ini dapat dilihat pada film-film yang dibintangi oleh Suzana, antara lain(Perkawinan Nyi Blorong, Sundel Bolong, Malam Satu Suro) dan Sally Marcelina (Misteri Wanita Berdarah Dingin, Tamu Tengah Malam, Putri Kuntilanak). Kebangkitan perfilman Indonesia pasca reformasi ditandai dengan film Kuldesak (1998). Dilanjutkan pada tahun 2000 dengan film Petualangan Sherina, Jelangkung, dan Ada Apa Dengan Cinta. Perkembangan yang signifikan, pada tahun 2004 FFI kembali diadakan, setelah sebelumnya vakum selama 12 tahun. Momentum ini dipandang oleh sejumlah pengamat film sebagai kebangkitan film di tanah air. Yang tampil sebagai pemenang adalah film karya Nia Dinata berjudul Arisan. Film ini berhasil menyisihkan film-film lain seperti Eliana Eliana, Ada Apa Dengan Cinta (AADC), Marsinah, dan Mengejar Matahari (Liputan 6, FFI 2004: Kebangkitan Film Nasional). Setelah lama berlalu, ternyata tema-tema seputar seks yang dipadu dengan komedi atau seks dengan horror masih digunakan oleh para pembuat film untuk menarik penonton. Sebagian film yang beredar itu antara lain adalah ML (Mau Lagi), Kawin Kontrak dan XL (Xtra Large), Genderuwo, Beranak Dalam Kubur, dan Terowongan Casablanca. Salah satu film yang bertemakan komedi-seks adalah Quickie Express. Film ini tidak mengandalkan kemolekan tubuh, melainkan isu sosial yang juga diangkat dari tengah masyarakat. Film ini mencoba menunjukkan bahwa kejamnya faktor ekonomi terkadang membuat orang rela Skripsi II-4 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga melakukan apa saja, bahkan menjual dirinya. Hal ini tidak hanya berlaku pada wanita, melainkan pada pria pun terjadi hal yang sama. Film QE menjadi menarik karena isu yang diangkat berbeda dengan film-film kebanyakan. Selain itu, QE menjadi film yang menghibur ditengah derasnya film-film horor lokal pada saat itu. Berkaitan dengan fungsi film sebagai media hiburan dan media pembelajaran film dapat memperkaya pengalaman hidup seseorang. Film bisa dianggap sebagai pendidik yang baik. Namun, film juga selalu diwaspadai karena kemungkinan pengaruh-pengaruhnya yang buruk (Dewan Film Nasional,1994: 16) II.2. Deskripsi Cerita Film “Quickie Express” Judul Film : Quickie Express Rilis : 22 November 2007 Produksi : Kalyana Shira Sutradara : Dimas Djayadiningrat Pemain : Tora Sudiro, Amink, Lukman Sardi, Sandra Dewi, Ira Maya Sopha, Tino Saroengallo Quickie Express bercerita mengenai anak muda yang dihadapkan pada kenyataan bahwa kehidupan itu keras. Bermula dari seorang pemuda bernama Jojo (Tora Sudiro) yang mau bekerja apa saja untuk menyambung hidup. Mulai dari cleaning service di sebuah perbelanjaan, hingga menjadi tukang tambal ban di pinggir jalan. Di tempat inilah Jojo bertemu dengan Mudakir (Tino Saroengallo), seorang pemilik jasa layanan escort berkedok restoran pizza bernama Quickie Express. Beliaulah yang menawari pekerjaan baru pada Jojo,yaitu gigolo. Skripsi II-5 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Jojo yang semula berpegang teguh pada harga dirinya, mulai tergiur dengan tawaran dari Mudakir. Keesokan harinya, Jojo kembali ke tempat tersebut dan menemui Mudakir. Ternyata disana Jojo bertemu dengan 2 orang calon gigolo lain bernama Piktor (Lukman Sardi) dan Marley (Amink). Piktor, lulusan Komunikasi dengan ciri khas tidak bisa mengucap F. Sedangkan Marley, seorang rasta yang menganggap Bob Marley adalah nabi. Sebagai anak baru di Quickie Express, mereka harus melalui serangkaian training. Setelah dianggap mampu, barulah mereka bertiga diturunkan ke lapangan. Mereka bertiga menikmati pekerjaan barunya sebagai pemuas dahaga para wanita (dan waria). Bahkan Marley, yang memiliki “Mr. P” paling kecil memiliki ramuan khusus untuk tahan lama. Hingga di suatu malam, saat selesai bertugas, mereka diolok-olok oleh beberapa pria kelas atas. Hal ini membuat mereka terlibat dalam perkelahian, dan salah satu pukulan telak yang salah sasaran berhasil membuat Lila (Sandra Dewi) terkapar. Jojo membawa Lila pulang kerumahnya. Saat inilah Jojo merasakan getaran cinta. Namun sayang, ia belum berhasil mendapatkan nomer teleponnya Keesokan harinya, Marley terkena insiden kecil. “Mr. P”nya tergigit ikan piranha sehingga harus dibawa ke rumah sakit. Dasar jodoh, disana Jojo bertemu dengan Lila dan berhasil mendapatkan nomer teleponnya. Saat di tempat kerja, Jojo ternyata telah berhasil naik level. Jojo tidak perlu memakai seragam dan kliennya merupakan klien kelas atas. Salah satu klien yang ketagihan dengan Jojo adalah tante Mona(Ira Maya Sopha). Skripsi II-6 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Yang tidak diketahui Jojo, Lila sebenarnya adalah anak dari tante Mona dengan suaminya, Jan Pieter Gunarto (Rudy Wowor) seorang mafia kelas kakap. Hubungan Jojo dengan Lila berjalan lancar. Begitu pula pelayanan Jojo terhadap tante Mona. Semuanya berubah saat Jojo bertandang ke rumah Lila, dan bertemu dengan tante Mona beserta suaminya. Setelah kejadian itu, tante Mona semakin over protektif terhadap Jojo. Bahkan dia mengancam akan membocorkan perselingkuhannya dengan Jojo kepada suaminya. Sementara hubungan Jojo dengan Lila menjadi semakin sulit, Jojo mengambil keputusan untuk berkata jujur mengenai profesinya. Akibatnya, Lila shock. Disatu sisi, Jan Pieter Gunarto juga tertarik dengan Jojo karena kemiripan wajahnya dengan mantan kekasihnya yang telah meninggal, Bram. Sementara itu, pacar sekaligus tangan kanan Jan Pieter Gunarto, Matheo (Tio Pakusadewo) cemburu terhadap Jojo. Konon, hal inilah yang membuat Matheo beserta anak buahnya menyerbu Quickie Express.Matheo yang dibakar api cemburu berusaha mengejar Jojo dan bermaksud membunuhnya. Sampai akhirnya, Matheo tewas terjatuh dari bianglala. Pada akhir cerita, Marleyd dan Piktor mencoba mencari pekerjaan lain. Sementara itu, Jojo sendiri memutuskan untuk beralih profesi, dari gigolo menjadi “Pemburu” calon gigolo. II.2.1. Karakter Tokoh Utama dalam Film “Quickie Express” Prostitusi dan seks merupakan hal yang sulit dipisahkan. Apalagi dengan keadaan keuangan yang tidak selalu sehat membuat pikiran tidak dapat berpikir Skripsi II-7 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga jernih. Hal ini yang coba diangkat oleh Kalyana Shira dalam film Quickie Express. Quickie Express mencoba mengangkat realita yang ada di masyarakat. Baik dari cara pandang dan cara berpikir dalam menghadapi masalah. Selain itu, Quickie Express menyorot isu yang selalu ada kapanpun dan dimanapun yaitu prostitusi. Tidak seperti prostitusi yang biasanya identik dengan wanita sebagai objek seks, pada Quickie Express justru pria yang biasanya superior, harus tunduk pada wanita yang membayarnya. Pada film Quickie Express, tokoh utamanya adalah tiga orang pemuda biasa yang menjelma menjadi mesin seks. Ketiga orang tersebut adalah Jojo, Piktor dan Marley. A. Jojo Jojo digambarkan sebagai seorang pemuda yang mau bekerja keras demi untuk melanjutkan hidupnya. Segala pekerjaan dicobanya. Mulai dari cleaning service, tukang tato, sampai menjadi seorang tambal ban di pinggir jalan pun dilakukannya. Tekad Jojo ini tergambar pada narasi setelah ia menjatuhkan ibuibu di pusat perbelanjaan. Jojo: “Orang kalah, adalah orang yang berhenti berusaha. Gue bukan.” Skripsi II-8 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Gambar 2.1 Jojo sebagai tukang tambal ban Sampai akhirnya, ia bertemu dengan Mudakir. Oleh Mudakir, Jojo dibawa ke Quickie Express dan ditawari pekerjaan untuk menjadi seorang gigolo. Meskipun Jojo seorang pemuda yang hidupnya serba terbatas, ia masih memiliki harga diri. Ini terlihat pada dialog Jojo dengan Mudakir di Pink Room Jojo Mudakir : “Gigolo??” : “Sebenarnya ga ada alasan buat kaget dengar kata itu. Itu kan cuma profesi, sama seperti dokter...” Jojo : “Dokter pekerjaan terhormat, nah ini...” Mudakir : “Sama aja. Kalo ente mengerjakan pekerjaan ente dengan baik, pelanggan puas, ente bakal dapet hormat...” Jojo : “Denger ya Om, gue ga bakalan jadi gigolo.” Namun Mudakir tidak kehabisan cara untuk meyakinkan Jojo bahwa takdirnya adalah menjadi gigolo. Dengan mesin bimbingan karir, Mudakir memperlihatkan fakta-fakta pendukung bahwa Jojo layak jadi gigolo. Skripsi II-9 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Gambar 2.2 Jojo dan Mudakir di Pink Room Akhirnya prinsip Jojo berhasil dipatahkan. Jojo memilih untuk menjadi gigolo daripada bekerja di Multilevel Marketing. Meskipun begitu, Jojo belum merasa bahwa masa depannya akan menjadi lebih jelas, dia merasa makin suram. Namun perlahan tapi pasti, Jojo dibentuk menjadi ‘mesin seks’ yang tahan banting. Gambar 2.3. Jojo dan kedua temannya sedang berlatih B. Piktor Piktor digambarkan sebagai seorang sarjana komunikasi. Dia bercita-cita untuk menjadi seorang presenter. Namun, hal tersebut belum dapat terwujud lantaran ia memiliki kesulitan dalam pengucapan konsonan “F” dan “V”, menjadi “P”. Piktor merupakan rekan satu angkatan dengan Jojo dan Marley dalam Quickie Express. Skripsi II-10 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Gambar 2.4. Piktor Saat Berada di Ruang Fitness Diantara ketiga orang tersebut, Piktor juga digambarkan sebagai ahli dalam masalah seks, terutama dalam perihal titik rangsang pada lawan jenis. Bersama sama dengan Jojo dan Marley, Piktor melakukan tugasnya melayani klien-klien yang membutuhkan jasanya. C. Marley Gambar 2.5. Marley Saat Berada di Ruang Fitness Marley digambarkan sebagai seorang Rastafarian. Dimana ia menganggap Bob Marley sebagai dewa. Penampilannya paling mencolok diantara kedua rekannya. Skripsi II-11 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Marley memiliki tubuh kurus dan digambarkan memiliki “Mr. P” yang kecil. Namun hal ini tidak mengurangi kemampuannya dalam menjalankan tugas. II.2.2. Karakter-karakter Pendukung dalam film Quickie Express A. Mudakir Mudakir merupakan pemilik dari usaha gigolo sekaligus atasan dari Jojo, Piktor dan Marley. Mudakir digambarkan sebagai orang Arab yang memiliki kecenderungan menyukai sesama jenis. Ia bertugas untuk “memburu” para pria yang nantinya akan dijadikan mesin seks tahan banting. Mudakir menemukan Jojo di salah satu tempat tambal ban. Ia juga yang merayu Jojo untuk berprofesi sebagai gigolo. Selain itu, ia pula yang mengatur Jojo menjadi eksklusif untuk tante Mona. Untuk menutupi usaha yang sebenarnya, Mudakir membuat rumah makan yang menjual pizza yang bernama, Quickie Express. B. Lila Lila digambarkan sebagai seorang wanita yang lembut dan polos. Lilal berprofesi sebagai seorang dokter yang bertugas di sebuah rumah sakit. Pertemuan pertama Lila dengan Jojo terjadi saat Jojo, Piktor dan Marley terlibat perkelahian di sebuah cafe. Pada insiden itu, Lila pingsan setelah terkena pukulan dari kekasihnya. Jojo menyelamatkan Lila, dan pertemuan selanjutnya membuat mereka semakin dekat. Yang tidak diketahui Jojo, Lila adalah anak perempuan dari Jan Pieter Gunarto, seorang penjahat kelas kakap, yang memiliki istri tante Mona, pelanggan eksklusif Jojo. Skripsi II-12 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga C. Tante Mona Tante Mona digambarkan sebagai seorang wanita kesepian yang bersuamikan seorang gay. Tante Mona merupakan istri dari Jan Pieter Gunarto dan ibu dari Lila. Sebagai pelanggan setia Jojo, secara tidak sadar, tante Mona ingin memiliki Jojo sepenuhnya. Bahkan ia mengancam akan membeberkan semua rahasia kepada Lila dan Jan Pieter Gunarto jika Jojo tidak mau memenuhi permintaannya. D. Jan Pieter Gunarto Seorang preman kelas kakap yang berdarah dingin. Di sisi lain, ia adalah suami dari tante Mona dan ayah bagi Lila. Konflik muncul ketika Jan Pieter Gunarto mengetahui bahwa wajah Jojo sangat mirip dengan mantan kekasihnya yang telah meninggal. Dan ia mencoba merayu Jojo untuk menjadi kekasihnya. E. Mateo Mateo adalah tangan kanan dari Jan Pieter Gunarto. Digambarkan dalam film ini, Mateo adalah sosok yang keras, setia sekaligus pencemburu. Kenyataan yang lebih mengejutkan ternyata Mateo adalah kekasih dari Jan Pieter Gunarto. Rasa cemburunya yang besar membuatnya ingin membunuh Jojo. Skripsi II-13 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA Film, seringkali mengambil fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat, untuk kemudian diolah kembali. Proses pengolahan antara lain adalah pembuatan adegan, sinematografi, alur cerita dan sebagainya. Sehingga hal-hal tersebut menjadi faktor pendukung untuk memaparkan kepada masyarakat fenomena yang berhasil ditangkap oleh si pembuat film. Sehingga, film tersebut merepresentasikan apa yang sebenaranya telah jadi di tengah masyarakat. Salah satu metode dalam meneliti sebuah film adalah semiotik. Sehingga yang akan dicari adalah makna dari simbol-simbol dalam film Quickie Express. Terkhusus simbol-simbol yang mendukung penggambaran gigolo dalam film tersebut. Yang menjadi inti adalah gigolo dan hubungannya dengan pekerjaan, kemerdekaan dalam memilih klien, komunitas bawah tanah, serta gigolo yang insyaf. Film Quickie Express sendiri menggunakan alur flashback. III. 1. Gigolo Sebagai Sebuah Pekerjaan Gambar 3.1 Adegan Jojo Bertemu Mudakir di Tempat Tambal Ban SCENE 9 Skripsi DIALOG J: gue tanya ne skali lagi ye, lo ngapain kesini pak? M: sebenarnya ane pemburu SOUND Ambience lingkungan pinggiran III-1 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” SHOT Medium Close Up Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga J: pemburu apaan? M: rubah, and you are my fox J: ane ga demen ama laki laki ---------------------Mudakir: ente suka kerja dimari? Jojo: gue demen bener kerja disini..liat noh, kendaraan dines, liburan 3 bulan sekali ke bangkok, dana pensiun, belom lagi kalo gue manggut2 gue dapet laptop M: ente mau kerjaan yang gampang, tapi bisa memberikan semua fasilitas itu? J: kerjaan apaan M: masuk ke mobil J: ogah gue lupain aje.. M: ee bahlul..ane akan masuk ke mobil dan ane akan tunggu ente selama 60 detik. Kalo ente juga masuk ke mobil itu, ane akan kasi ente pekerjaan terhebat yang pernah ente dapet.. ee..inget ya..60 detik Close Up Medium Close Up Ambience lingkungan pinggiran Close Up Tabel 3.1 Analisis Denotasi Gambar 3.1 Sebelum menjadi seorang gigolo, sebelumnya Jojo bekerja di sebuah tempat tambal ban di pinggir jalan. Profesi sebagai peambal ban biasanya identik dengan orang-orang kelas ekonomi menengah kebawah yang tidak memiliki bekal pendidikan yang memadai untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Saat itulah Jojo ditemukan oleh Mudakir yang tak lain adalah seorang “pemburu”. Pemburu disini berarti adalah seorang mucikari yang mencari calon gigolo serta memasarkan gigolo. Skripsi III-2 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Jojo dianggap mampu memenuhi kriteria pria idaman wanita. Dengan sedikit rayuan dari Mudakir, Jojo akhirnya ikut ke Quickie Express dan berubah menjadi seorang gigolo. Dengan iming-iming pendapatan berlimpah, Jojo yang berasal dari perekonomian pas-pasan akhirnya mau menjadi gigolo. Hal ini menunjukkan motivasi ekonomi memang sangat kuat. Tak hanya gigolo saja, namun begitu juga pekerja seks wanita. Banyak para wanita yang memutuskan untuk terjun ke dunia pelacuran karena tergoda dengan iming-iming harta berlimpah (Abdi, 2007: 13). Gambar 3.2 Adegan Jojo Bertemu Klien Pertama di Cafe SCENE 15 DIALOG Jojo: Quickie Express.. Klien: yes J: udah lama nunggu tante? K: it’s worth it J: yes worth it yes K: you know what, I think your not just a preety face, but you’re a smart man too J: ahaa.. yes.. K: I’d like have a long chat after sex J: yes..smart sex… me..smart sex K: of course J: later tante and me can ee bicara sepanjang yg tante suka K: I’m sure we will.. SOUND Music slow Ambience keramaian SHOT Very Long Shot Medium Close Up Medium Close Up Medium Close Up Tabel 3.2 Analisis Denotasi Gambar 3.2 Skripsi III-3 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Pada scene ini, Jojo bertemu dengan klien pertamanya di sebuah cafe. Sebagai “pemain baru” dalam dunia gigolo, Jojo masih terlihat canggung. Dari dialog dapat dilihat bahwa Jojo sebagai gigolo menjanjikan servis pada kliennya. Sebagai gigolo yang profesional, kepuasan pelanggan adalah yang utama. Gambar 3.3 Adegan Marley Melayani Klien pertamanya SCENE 17 Skripsi DIALOG Marley (M): Quickie Express... Tante (T): aku mau kamu pake baju itu M: hehe baju itu? Tante: iya baju itu sayang.. M: ahhaha.. T: kerjakan!!!..setrap nanti ============= M: man..sesek man T: sekarang..kamu baca buku ini..buka buka... M: ini budi ini ibu budi T: ah.....terus... M: ini bapak budi T: oh yeah..teruus.. M: Ini kakak budi. Bapak dan budi pergi ke pasar.. T: yeaahh.. M: bapak dan budi..perg... III-4 SOUND - Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” SHOT Long Shot Medium Close Up Medium Close Up Medium Close Up Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga T: dieja dieja... M: B..B..U.. Bu T: dieaja.. M: D...I..Di Budi.. T: ahh...budi kenapa M: wa...wati.. T: wati kenapa wati..auhhh...iyyyoo...ahh..cukup..taro bukunya..sekarang kamu buka celananya.. hahahha..kecil sekaliii..imut imut.. M: no maann Medium Close Up Tabel 3.3 Analisis Denotasi Gambar 3.3 Sama seperti Jojo, saat Marley berhadapan dengan klien pertamanya, ia diminta untuk berperan sebagai anak kecil yang belajar membaca. Bagaimanapun, sebagai seorang gigolo yang profesional, apapun permintaan dari konsumen, haruslah dipenuhi. Namun, pada saat klien mengatakan bahwa ukuran kelamin Marley ‘imutimut’, ia tidak terima dan langsung menerkam sang klien. Ukuran kelamin pria kadang menjadi suatu ukuran bagi kepuasan dan kenikmatan yang bisi diberikan. Sebagai seorang pria, ukuran adalah hal yang sangat sensitif, sehingga saat disinggung mengenai ukuran, sisi kelaki-lakian Marley berontak dan ingin menunjukkan maskulinitasnyanya terhadap perempuan dimana merupakan kliennya. Skripsi III-5 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Gambar 3.4 Adegan Jojo Melayani Tante Mona di Hotel SCENE 42 DIALOG TM: Please..cheers.. Dari tadi kamu perhatikan aku terus J: sorry, tapi tante benerbener cantik TM: oya? J: sebenarnya tante bisa dapetin laki-laki manapun yang tante mau, ga perlu manggil gigolo kaya saya.. … TM: jo, you’re the best baby..ee..sadar ga si kamu, kita kan belom makan malem sayang..kita makan malem dulu yuk jo... J: gimana kalo laen kali tante..aku harus balik ke Quickie Express TM: berapa nomer telepon kamu? J: kita ga blh kasih nomer telepon kita ke klien TM: ya udah.. Aku tanya om Mudakir J: okay.. TM: hey..gimme a kiss.. (berciuman) TM: bye jo SOUND - SHOT Long Shot - Medium Close Up - Medium Close Up - Medium Shot - Medium Close Up - Medium Close Up Tabel 3.4 Analisis Denotasi Gambar 3.4 Skripsi III-6 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Scene antara Jojo (J) dan Tante Mona (TM) ini bertempat di dalam sebuah kamar hotel. Dimana mereka memulai dengan obrolan-obrolan ringan, yang nantinya berujung pada peraduan. Bagi para gigolo, tentunya mereka tidak asing dengan kamar hotel. Bahkan bagi beberapa orang, kamar hotel sudah merupakan tempat wajib untuk menunaikan tugas. Dalam scene ini pula, terlihat bahwa Jojo sudah semakin profesional, dia tidak lagi seorang gigolo kemarin sore. Dapat kita lihat bagaimana Jojo dapat membuat Tante Mona merasa nyaman dengan buaian kata-kata. Jojo berhasil membaca karakter kliennya. Ini adalah salah satu kunci keberhasilan bagi seorang gigolo. Selain itu, karena alasan profesionalitas, gigolo seringkali memberi batasan kepada para kliennya. Tentunya, ini berguna untuk menjaga hubungan emosional agar tidak terlampau dalam. Gambar 3.5 Adegan Jojo Menemani Tante Mona di Kapal layar SCENE 53 Skripsi DIALOG TM: hey.. J: hai..aku liat lumba-lumba barusan TM: o ya? J: iya.. .... TM: kamu dari tadi senyum III-7 SOUND Ambience suara ombak di laut SHOT Long Shot Ambience suara Medium Close Up Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga terus, kenapa si? J: aku lg jatuh cinta TM: ehhehe..kamu ga perlu ngmg gt kalo Cuma buat nyenengin aku jo.. J: maksudnya bukan sama tante TM: oo... ombak di laut Tabel 3.5 Analisis Denotasi Gambar 3.5 Scene yang berada di atas kapal layar ini menunjukkan, bahwa selain uang, seorang gigolo juga mendapatkan kesenangan extra, seperti berwisata bersama klien. Jojo sebagai seorang gigolo yang berhasil membuat Tante Mona, berhasil mendapatkan bonus tersebut. Ia diajak untuk mengarungi samudra bersama-sama di atas sebuah kapal layar. Tentu saja, ia tetap harus menunaikan kewajibannya untuk melayani Tante Mona. Dari dialog Jojo dengan Tante Mona, terlihat bahwa Tante Mona sedikit berharap Jojo jatuh cinta kepadanya. Namun, hal itu dimentahkan oleh Jojo. Ini memperjelas karakter dari gigolo bahwa mereka ingin menjauhkan perasaan cinta dari urusan pekerjaan. Saat mereka bekerja, itu hanyalah sebatas pekerjaan, dan bukan karena cinta. Hal ini disebabkan, bagi sebagian gigolo, mereka tidak ingin nantinya terjebak dalam perasaan mereka sendiri. Selain itu, tentunya cinta akan mempengaruhi profesionalitas mereka. Gambar 3.6 Adegan Jojo Memenuhi Ancaman Tante Mona Skripsi III-8 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga SCENE 59 DIALOG TM :I think i know how to solve our problem now.. J: gimana? TM: kita pergi dari sini, ke luar negeri, aku cukup punya banyak uang untuk tinggal disana... Please Jo, i’m so in love with you jo please... J: aku sayang sama Lila tante.. TM: bullshit..kamu suka sama dia cuma karena dia masi muda.. J: tante ga akan bisa ngerti.. SOUND - SHOT Long Shot Medium Close Up Medium Shot Tabel 3.6 Analisis Denotasi Gambar 3.6 Scene ini memperkuat bahwa gigolo anti jatuh cinta dan bermain perasaan dengan kliennya. Saat Jojo bertemu dengan Tante Mona di sebuah kamar hotel., Tante Mona ingin mengajak Jojo untuk pergi ke luar negeri. Ia ingin hidup bersama dengan Jojo dan meninggalkan suami serta anaknya. Ditambah lagi dengan pernyataan “I’m so in love with you Jo”, semakin mempertegas bahwa Tante Mona jatuh cinta kepada Jojo. Namun, Jojo menolaknya dengan alasan, ia mencintai Lila, yang tidak lain adalah anak dari tante Mona bersama suaminya, Jan Pieter Gunarto. Skripsi III-9 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Gambar 3.7 Adegan Marley Memperkenalkan Raja Jahanam pada Jojo dan Piktor SCENE 31 DIALOG J: gila cape banget gue hari ini, sampe kaya ga ada tulangnya Dapet brapa lu tor? P: 2 lo J: 3 lo ley? M: ehem..9 P: hah?? J: dapet 9 lo? P: lo pake apa lo piagra? M: no man, gua mah ga perna pake kaya gituan..haram.. ----------------------M: Raja Jahanam..yeaahh.. P: hah? M: iye ini namanya raja jahanam..cara pakenye ye..dikluarin, potek dikit..tak..trus gitu lo masukin ke aer anget...kocok kocok.. na uda gitu..lu olesin ke itunya elo..oles bawah..set..oles atas.. tas... J: lo dapet dari sape? M: dari om mudakir..dari arab emang,,, J: ..terpercaya... SOUND - SHOT Medium Close Up Medium Shot - Close Up Tabel 3.7 Analisis Denotasi Gambar 3.7 Skripsi Gambar III-103. Studi Semiotik Representasi Gigolo dan DalamMarley Film “Quickie Express” Jojo, Piktor Berolahraga Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Gambar 3.8 Adegan Jojo, Marley dan Piktor Sedang Berolah Raga Dialog antara Jojo (J), Piktor (P) dan Marley (M) di sebuah cafe 24 jam setelah mereka bertugas menunjukkan bahwa pekerjaan mereka sebagai gigolo memang membutuhkan stamina yang kuat dan tenaga extra. Untuk memenuhi kebutuhan itu, tak jarang para gigolo menggunakan jamu-jamuan. Jamu yang digunakan pun sesuai dengan kegunannya, yaitu menambah stamina saat mereka “bertugas” di ranjang. Selain itu agar tidak mudah sakit akibat kelelahan. Dalam scene di sebuah cafe tersebut, Marley menggunakan Raja Jahanam untuk daya tahannya di ranjang. Jamu pemberian dari Mudakir ini pula yang digunakan oleh Jojo dan Piktor dengan tujuan bisa mendapat dan memuaskan lebih banyak pelanggan. Selain menggunakan jamu dan ramuan tradisional, para gigolo juga menjaga kebugaran tubuh dengan berolahraga. Hal ini terlihat pada scene dimana Jojo, Marley dan Piktor berlatih bersama dengan instruktur mereka. Semakin banyak pelanggan yang terlayani, semakin besar pula imbalan yang akan didapatkan. Hal ini sangat berhubungan dengan profesionalitas yang Skripsi III-11 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga diemban oleh seorang gigolo dalam menjalankan tugasnya. Selain itu stamina dan daya tahan diatas ranjang juga merupakan simbol maskulinitas. III. 2.Gigolo dan Kemerdekaan Dalam Memilih Klien Gambar 3.9 Adegan Jojo Dirayu Jan Pieter Gunarto SCENE 62 DIALOG JP: look at me, liat saya... SOUND - (JP menciumi Jojo, namun ditolak) please..saya kangen saya kangen sama bram, saya sangat kangen sama dia. He’s the greatest. Saya kasih kamu apa saja… apa saja, kalo kamu mau jadi pengganti Bram. He was the love of my life. I love him, I love him..please..please..kiss me please..kiss me.. J: om saya ga bisa om.. JP: kiss me.. Skripsi III-12 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” SHOT Medium Close Up Long Shot Medium Close Up Medium Close Up Long Shot Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga J: om saya ga bisa om.. JP: kiss me, i love him Tabel 3.8 Analisis Denotasi Gambar 3.9 Dalam scene yang bertempat di rumah Jojo ini, terlihat karakter dari seorang gigolo. Saat Jojo didekati oleh Jan Pieter Gunarto (JP) yang notabene adalah seorang gay, awalnya ia hanya terdiam. Setelah Jan Pieter Gunarto menjelaskan bahwa mantannya di masa lalu yang bernama Bram memiliki wajah yang mirip dengan Jojo, ia mulai merayu dan memohon Jojo untuk menjadi pengganti Bram yang telah tiada. Bahkan ia rela memberi apa saja asalkan Jojo mau menggantikan posisi dari Bram sebagai kekasih Jan Pieter Gunarto. Namun Jojo menolak, hingga saat Jan Pieter Gunarto mulai menciumnya, Jojo pun berontak. Disini terlihat bahwa seorang gigolo tidak secara sembarangan dalam menerima kliennya. Hal ini berbeda dengan pekerja seks komersil wanita yang hanya bisa pasrah siapapun konsumennya. Gigolo dapat menolak dan memilih siapa yang akan dia layani. Dari sini terlihat bagaimana nilai patriarki tergambar jelas dalam sosok seorang gigolo. Gambar 3.10 Adegan Saat Jojo Disergap Tante Mona di Toilet SCENE Skripsi DIALOG SOUND III-13 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” SHOT Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga 56 - TM: Jojo... J: tante kluarga tante ada diluar.. TM: biarin jo..biarin.. J: tante ak lg engga kerja hari ini... TM: aku bisa beli kamu kapan aja aku mau.. J: tante.. Medium Shot Medium Long Shot Tabel 3.9 Analisis Denotasi Gambar 3.10 Scene ini berlangsung di kamar mandi. Saat Jojo sedang membersihkan diri, Tante Mona tiba-tiba masuk dan menyergap Jojo dan memaksanya untuk melayaninya. Namun, Jojo menolak dengan alasan bahwa dia tidak sedang bertugas dan mereka sedang berada di rumah Tante Mona yang lengkap dengan suami dan anaknya. Tante Mona tetap memaksa untuk dilayani, namun tidak berhasil. Sekali lagi, budaya patriarki dalam diri seorang pria terlihat. Meskipun Jojo adalah seorang gigolo, namun ia tetap dapat menentukan, kapan dia bekerja dan kapan dia sedang tidak bertugas. Gigolo juga dapat menentukan apakah dia mau melayani atau tidak. Hal ini adalah poin yang tidak dimiliki oleh para pekerja seks yang lain seperti pekerja seks wanita dan pekerja seks waria. III. 3.Gigolo Sebagai Komunitas Bawah Tanah Skripsi III-14 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Gambar 3.11 Adegan Saat Jojo Diajak Mudakir Ke Quickie Express SCENE 11 DIALOG Mudakir: ente pasti bertanya tanya kemana ana mo bawa ente. Percaya sama ana jo, pekerjaan terhebat, sudah didepan mata ente. SOUND ----------------------M: dulu disini ada pangkalan militer Jepang. setelah Jepang pergi, tanah ini jatuh ke tangan abah ana. Tapi baru 10 tahun lalu ana tahu bahwa dibawahnya ada bunker besar yang dulu dibikin buat tempat orang2 jepang sembunyi kalo terjadi perang. Akhirnya ana jadikan tempat pelatihan. J: tempat pelatihan ape? M: selamat datang di Quickie Express Training Center SHOT Medium Long Shot Medium Shot Medium Shot Medium Long Shot Tabel 3.10 Analisis Denotasi Gambar 3.11 Dalam scene ini, Mudakir membawa calon gigolonya menuju ke markas besar. Mulai dari kedok restoran pizza bernama Quickie Express, meyusuri tangga Skripsi III-15 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga menuju lorong bawah tanah, hingga menuju ke bekas bunker bawah tanah yang telah disulap menjadi tempat pelatihan. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa gigolo tidak pernah secara terang-terangan dalam membuka jasanya. Mereka sangat tertutup dan rapi dalam menyimpan kegiatannya. Dari scene ini terlihat bahwa keberadaan gigolo tidak pernah terlihat jelas seperti layaknya keberadaap prostitusi perempuan dan waria sekalipun. Gigolo biasanya terbagi menjadi dua bagian, yang terorganisir dan yang tidak terorganisir. Namun, keduanya sama-sama terselubung. (Kadir,2007:144). Bila dibandingkan dengan gambar dibawah, akan terlihat jelas perbedaan antara gigolo dan pekerja seks wanita. Gambar 3.12 Potret Pekerja Seks Wanita. Terlihat perbedaan yang signifikan pada saat gigolo bekerja dan pekerja seks wanita bekerja. Pekerja seks wanita cenderung lebih terbuka di tengah masyarakat. Bahkan terkesan mereka dipajang untuk menarik para konsumen. Hal berbeda dimana gigolo bertugas. Digambarkan dalam film Quickie Express gigolo di Indonesia sangat tertutup keberadaannya. Hal ini berbeda pula dengan penggambarang gigolo pada film Deuce Biggalow: European Gigolo yang digambarkan komunitas gigolo sudah muncul ke permukaan lapisan masyarakat. Hal ini tentunya menunjukkan Skripsi III-16 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga bahwa masing-masing negara dipengaruhi kebudayaan masing-masing dalam menyikapi fenomena seksualitas yang terjadi di tengah masyarakatnya. III. 4.Gigolo Insyaf Gambar 3.13 Adegan Saat Piktor dan Marley tak lagi menjadi gigolo SCENE 76 77 DIALOG Narasi Jojo: OK sptnya semua uda berubah sahabat-sahabat gue, brusaha mengejar mimpinya. Piktor emg g ada matinya dia Marley, emang ga ada malunya ne anak SOUND Music SHOT Medium Shot Medium Shot Tabel 3.11 Analisis Denotasi Gambar 3.12 Suatu kemajuan yang cukup luar biasa ketika seorang pekerja seks bisa kembal ke jalan yang benar. Gambar diatas menunjukkan bagaimana Piktor dan Marley yang notabene adalah gigolo kelas atas bisa memilih untuk kembali ke kehidupan normal. Saat banyak orang ingin terjun kedalam dunia prostitusi, mereka berdua berhasil mengentaskan diri. Hal ini dapat dikaitkan dengan permasalahan moral. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pekerja seks sudah dianggap menjadi penyakit di tengah Skripsi III-17 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga masyarakat. Dengan keinginan mereka untuk pensiun dari gigolo, hal ini menunjukkan mereka sudah meperhatikan permasalahan moral yang selama ini teralihkan oleh kebutuhan ekonomi. Skripsi III-18 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN IV.1. Kesimpulan Dalam film Quickie Express terlihat jelas bahwa penggambaran seorang gigolo dalam menjalankan pekerjaannya selalu menjunjung tinggi profesionalitas. Selain itu, gigolo dalam pekerjaannya juga dapat menempatkan posisi dirinya lebih tinggi dari pada konsumennya. Hal ini tidak lepas dari kebudayaan di Indonesia yang menganut sistem patriarkal, dimana perempuan diposisikan lebih rendah daripada laki-laki. Ironisnya, tingkat perempuan yang lebih rendah, justru yang membayar jasa dari pada gigolo yang bersangkutan. Dari budaya patriarki tersebut, gigolo juga dapat memilih siapa konsumen yang akan mereka layani. Selain itu, gigolo juga mendapat penggambaran serupa sesuai dengan yang terjadi di tengah masyarakat, yaitu organisasi gigolo sangat tertutup dan nyaris tidak terlihat di tengah-tengah masyarakat. Ini terlihat jelas melalui posisi dari markas Quickie Express yang bertempat di bawah tanah. Sebagai penutup, digambarkan gigolo yang kembali ke jalan yang benar. Hal ini menunjukkan, tidak tertutup kemungkinan untuk hidup sebagaimana manusia lainnya dengan pekerjaan yang lebih layak. IV.2. Saran Dalam penelitian serupa, diharapkan peneliti dapat memperoleh rujukan mengenai film-film yang mengangkat mengenai gigolo di dunia. Hal ini dapat dijadikan pembanding terhadap film-film dengan tema serupa di Indonesia. Skripsi IV-1 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Selain itu, peneliti diharapkan dapatlebih mengangkat sisi yang belum tersentuh mengenai para pekerja seks, khususnya gigolo. Skripsi IV-2 Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga DAFTAR PUSTAKA Buku: Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa, Jakarta: Komunitas Bambu Brock, Malin Lidström. 2006. Encyclopedia of prostitution and sex work, Greenwood Press, United States of America Bungin, Burhan. 2008. Sosiologi Komunikasi, Jakarta: Kencana Dewan Film Nasional.1994. Apresiasi Film Indonesia, Jakarta: Dewan Film Nasional Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: LkiS Fiske, John. 2001. Television Culture, New York: Routledge Fiske, John. 1996, Introduction to Communication Studies, Second Edition, London and New York: The Guernsey Press Co. Ltd Kadir, Hatib Abdul. 2007. Tangan Kuasa Dalam Kelamin, Yogyakarta: Insist Press Kristanto, J.B. 2007. Katalog Film Indonesia 1926-2007, Jakarta: Nalar Lacey, Nick. 1998. Image and Representation, New York: St. Martin’s Press,Inc Himawan. 2008. Memahami Film, Yogyakarta: Homerian Pustaka Sobur, Alex. 2004, Semiotika Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Stokes, Jane. 2006. How to do Media and Cultural Studies: Panduan Untuk melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya, Yogyakarta: Bentang Thompson, Roy, and Bowen, Christopher. 2009. Grammar of The Shot: Second Edition, Elsevier Inc. Turner, Graeme. 1999. Film as Social Practice: Third Edition, New York: Routledge Skripsi Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Thwaites, Tony. 2009. Introducing Cultural and Media Studies: Sebuah Pendekatan Semiotik, Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra Weitzer, Ronald. 2010. Sex for Sale, New York: Routledeg SUMBER NON-BUKU Skripsi: Mawardhani, Agustina. 2005. Studi Semiotik Penggambaran Keperawanan pada Remaja Melalui Film “Virgin : Ketika Keperawanan Dipertanyakan”, Departemen Komunikasi, Universitas Airlangga Lestari, Denok Puji. 2008. Fenomena Gigolo Eksklusif di Surabaya, Departemen Sosiologi, Universitas Airlangga Jurnal: Muslich, Masnur, 2008. Kekuasaan Media Massa Mengontruksi Realitas Internet: Media Representation http://www.aber.ac.uk/media/Modules/MC30820/represent.html diakses pada 22 November 2009 Semiotics for Beginners: Introduction http://www.aber.ac.uk/media/Documents/S4B/sem01.html diakses pada 23 November 2009 Semiotics for Beginners: Sign http://www.aber.ac.uk/media/Documents/S4B/sem02.html diakses pada 23 November 2009 Semiotics for Beginners: Modality and Representation http://www.aber.ac.uk/media/Documents/S4B/sem02a.html diakses pada 24 November 2009 Wawancara Media Dengan Dimas Djayadiningrat http://www2.kompas.com/ver1/Hiburan/0711/17/203908.htm diakses pada 6 Mei 2009 Skripsi Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express” Marphin G. F S