gdlhub-gdl-s1-2010-m.. - Universitas Airlangga

Transcript

gdlhub-gdl-s1-2010-m.. - Universitas Airlangga
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Studi Semiotik
Representasi Gigolo Dalam Film
“Quickie Express”
SKRIPSI
Oleh :
Marphin G. F S
070517626
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
Skripsi
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
SEMESTER GASAL 2009/2010
PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT
Bagian atau keseluruhan isi Skripsi ini tidak pernah diajukan untuk mendapatkan
gelar akademis pada bidang studi dan/atau universitas lain dan/atau tidak pernah
dipublikasikan/ditulis oleh individu selain penyusun kecuali bila dituliskan
dengan format kutipan dalam isi Skripsi.
Surabaya, 30 Desember 2009
Penyusun
Marphin Gaspar. F.S
NIM. 070517626
Skripsi
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Studi Semiotik
Representasi Gigolo Dalam Film
“Quickie Express”
SKRIPSI
Maksud: sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi S1 pada
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga.
Disusun Oleh :
Marphin G. F S
070517626
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
Skripsi
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Semester Gasal 2009/2010
Halaman Persembahan
Rasa syukur yang hampir tak dapat diungkapkan dengan kata-kata,
memenuhi pikiran saya ketika skripsi ini selesai. Terlepas dengan kekurangan
disana-sini, perjuangan mencapai titik ini bukan merupakan waktu yang singkat.
Ada kelegaan yang terasa, dan itu menyenangkan.
Namun, perjalanan dalam menyelesaikan skripsi ini, tidak lepas dari
dukungan berbagai macam pihak. Mulai dari proses pencarian ide, pematangan,
serta seruan-seruan yang menyemangati, itu semua tidak dapat timbul jika hanya
saya yang bekerja didalamnya. Sekelumit kata-kata sederhana dibawah mungkin
tidak dapat mewakili semua rasa. Namun setidaknya membantu pembaca untuk
mengetahui mereka yang telah berjasa dalam pencapaian titik ini.
o God Almighty. Penyertaan-Mu memang tiada tanding. Terima kasih untuk
semua proses yang telah Engkau ijinkan untuk kami lalui. Setiap proses yang
mengingatkan kami bahwa waktu tidak dapat mundur satu detik pun, dan kami
harus terus maju. Thank You Jesus Christ!
o Parents. Papa & Mama yang selalu mendukung dengan cara mereka masingmasing. Terima kasih untuk kesabarannya menanti anakmu yang memang
agak sulit menemukan mood dalam pengerjaan skripsi. Terima kasih untuk
segala macam materi, support serta omelan yang memacu penyelesaian skripsi
ini. Big thanks and love y’all.
o Marphin Franco Yohanes Sapulete a.k.a Koko. Seorang adik yang perkasa.
Mungkin kata-kata yang dapat engkau ucapkan masih sangat minim untuk
mengungkapkan apa yang ada di dalam kepalamu. Mungkin setiap gerak
hiperaktif dan setiap erangan kesakitan menjadi cerminan orang menilaimu.
Tapi, setiap kesempatan melihat itu semua, semakin memperkuat keinginan
menyelesaikan semua ini. Tak lebih agar aku dapat berbuat sesuatu yang bisa
membuatmu menjadi seperti anak-anak normal lainnya. Ini buat kamu, lil’
brother.
Skripsi
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
o Segenap jajaran dosen, terima kasih buat segenap kesempatan dan ilmu yang
sudah diberikan. Semoga dapat berguna dengan dikemudian hari.
o Pak Suko sebagai dosen pembimbing sekaligus penguji, terima kasih untuk
semua waktunya. Mas IGAK dan Mba’ Titik sebagai penguji, terima kasih
atas support dan tanda tangannya di lembar pengesahan..
o Rekan-rekan di kampus yang telah menjadi Pemburu Deadline Skripsi. Terima
kasih atas segala bantuan, support, penjelasan atas semua pertanyaan. Semoga
sukses selalu. GBU
o My beloved PC. Meskipun engkau berasal dari periode SMA dan sudah tak
terhitung berapa kali install ulang, pengabdian dan kontribusimu sungguh
besar bagi terselesainya skripsi ini. Tak dapat dibayangkan kalau tiba-tiba
engkau ‘nggondok’, nampaknya semuanya belum usai. Bahkan saat ini tertulis
pun, engkau masih setia mendamping. Thanks.
o CorelDraw 12, Adobe Photoshop CS2, dan Adobe Premiere Pro 1.5 yang
menjadi wadah menumpahkan segala stress yang memenuhi kepala. Tanpa
kalian, tidak akan ada ekspresi yang terungkap. Melalui kalian, terlahir karyakarya sederhana yang cukup memuaskan, setidaknya untuk diri sendiri.
o Facebook, Deviantart dan Kaskus, obat pembunuh sepi yang tak jarang
menjadi candu kala proses pengerjaan skripsi ini. Setidaknya, melalui kalian,
mata ini bisa sedikit terbuka saat diperlukan untuk stand-by selama 24 jam.
Cendol dong gan, tapi jangan di bata ya..
o Kawan-kawan seperjuangan di 2005. Rasanya seperti baru kemarin kita samasama melalui BSK, baik jadi peserta dan panitia. Dan sekarang, hanya
segelintir orang yang bisa ditatap secara langsung. Sedangkan sisanya hanya
dapat dipandang buku kenangan. Terima kasih buat semua kerjasamanya
kawan.
o Mantan punggawa-punggawa lab AV sekaligus, Pandu, Andri, Anggong,
Wimar, Nissa, Andhonk, QiQi dan segenap AVengers yang tidak tersebutkan.
Terima kasih atas supportnya mulai dari peresmian AV, berjalannya AV dan
segala yang terjadi didalamnya. Tanpa kalian semua, mungkin sulit untuk
menemukan tempat bertukar pikiran. Thx guys.
Skripsi
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
o Kine Club FISIP-Unair dan segala isinya. Disini saat pertama aku berkenalan
dan jatuh cinta lebih dan lebih lagi dengan film. Belajar produksi, editing dan
sebagainya. Mungkin tanpa Kine, topik skripsi yang diangkat bukan tentang
film. Thanks Kine..semoga engkau mendapat celah dan tidak tergerus waktu
di belantara FISIP ini.
o The Idiotas, terkhusus QiQi dan Jona yang masih eksis dalam masalah
support-menyuport. Makasih buat semuanya. Qi, ojo gendeng duwek,
skripsimu iku garapen..
o Atee dan Citra, tetangga sedaerah Surabaya coret, makasih juga buat
bantuannya. Terima kasih buat jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
ga penting..makasi buat supportnya kawan.
o Pak Har-Bu Har, si empunya warung STMJ deket rumah, terima kasih telah
jadi tempat cangkruk dan tempat curhat sekaligus...terima kasih sudah
memberikan wadahnya..
o Intan Medis, Arum Jawa Pos dan Rizal Kahima yang sudah menjadi tag team
dalam perburuan pembimbing selama beberapa semester terakhir...makasi ya
buat semua pengertian dan kerjasamanya.
o Nadee...sesama penggarap semiotik..terima kasih buat semua balesan sms nya
sekaligus jadi tempat bertanya tentang segala hal mengenai om Barthes...lulus
bareng de..thx ya..Tari, yang udah minjemin bukunya Eriyanto dan Thwaites,
tenkyu ya..
o All Barista Coffee Corner, tak terkecuali aktif maupun non-aktif yang dengan
cara mereka telah memberi support dalam penyelesaian skripsi ini. Eyen, Uki
dan Jojo yang seperjalanan dalam finishing skripsi, akhirnya usai juga
kawan...thx guys.
o Winny dan Samira, rekan magang di tvOne Jakrta. Akhirnya aku berhasil
menyusul kalian yang duluan jadi sarjana. Makasih supportnya ye bu..
o All family in Jakarta. Mami Lotti, Ka Ira, Ka Bobi, Ka Sinta, Shanez, Zhasha,
Gaza dan Dafa serta Om Lukas dan family. Makasih udah jadi tempat
berlabuh sejenak disana saat pencarian data skripsi ini. GBU all.
Skripsi
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
o Bekasi corner, Rency, Desy, Ka Yohan, Yana dan segenap tante-om yang ada
disana. Makasi buat support dan doanya. Desy...Rency, ayo buruan..biar
nyusul lulus..GBU all...
o Ka Mamad, Ka Oi dan Ka James, terima kasih buat supportnya juga, sudah
minjemin motor dan menunjukkan jalan. Tanpa kalian, mungkin sampe
sekarang aku masi nyasar di Jakarta. Thx a lot.
o TBI fellas dan segala isinya. Terima kasih buat semua supportnya. Jujur, saat
di TBI, bukan sekedar les, melainkan juga menjadi media refreshing yang
optimal. Remember, no Bahasa in the class dude.
o Last but no least, Pingkan Christy Shorinzie Singal a.k.a Ndut. Orang yang
ada saat muncul ide mengenai tema gigolo ini. Dia menjadi penyemangat
andal yang tak kenal lelah dalam menyuport sekaligus rekan yang sama-sama
mengejar kelulusan. Terima kasih atas segala bantuan dan pengertiannya
selama ini. Maaf kalau ada salah-salah kata baik sengaja maupun tak sengaja.
GBU...
Rasanya, semua yang tersebut diatas masih belum lengkap. Selalu ada
yang terlewatkan. Untuk semua yang tak tersebutkan satu per satu, tukang
fotokopi, abang bajaj, abang nasi goreng hingga abang parkir. Sedikit banyak,
kalian telah ikut andil dalam terselesaikannya skripsi ini. Terima kasih buat kalian
semua. Di akhir kata, mungkin semua ini hanya menggambarkan sekilas
mengenai peran kalian selama ini. Tanpa doa kalian semua, skripsi ini mustahil
untuk selesai. Semoga kalian diberkati oleh Tuhan YME. God Bless you all.
Skripsi
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
“Orang kalah adalah orang
yang berhenti berusaha..
Gue bukan…”
-Jojo dalam Quickie Express-
Skripsi
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
ABSTRAK
Dalam masyarakat luas sekarang ini, seks bukanlah sesuatu yang tabu
untuk dibicarakan. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum bahwa seks juga
menjadi sebuah komoditi yang diperdagangkan. Dalam perfilman, tama-tema seks
sering menjadi kunci untuk menarik konsumen. Sebagai ’barang dagang’ para
penjaja seks pun bermacam-macam. Mulai dari wanita, waria dan pria. Wanita
dan waria sudah cukup lazim keberadaannya di masyarakat. Namun pekerja seks
pria masih sangat tertutup dan sulit dijangkau oleh masyarakat. Hal inilah yang
dianggkat dalm film Quickie Express.
Bertolak dari fenomena tersebut di atas, maka peneliti merumuskan
permasalahan sebagai berikut: Bagaimanakah representasi gigolo dalam film
“Quickie Express”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
penggambaran gigolo yang direpresentasikan oleh tokoh Jojo, Piktor dan Marley
dalam film “Quickie Express”.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian
deskriptif dan menggunakan metode Semiotik dengan teori milik Barthes.
Penelitian ini menggunakan denotasi dan konotasi. Unit analisis yang digunakan
adalah tabel denotasi yang berisi interpretasi yang terlihat dalam scene-scene
dalam film Quickie Express. Data yang primer didapat dari hasil pengamatan
DVD original yang diproduksi oleh Kalyana Shira, sedangkan data yang sekunder
didapat dari buku, jurnal penelitian, skripsi, dan data internet. Tinjauan pustaka
yang digunakan untuk menunjang penelitian ini ada lima, yaitu Seksualitas dalam
Konstruksi Sosial, Gender dan Profesi, Komersialisasi Seksualitas, Gigolo di
Indonesia, Gigolo di Media, Pendekatan Semiotik Dalam Film.
Hasil penelitian ini menunjukkan representasi dari gigolo mulai dari
pekerjaan dan profesionalitas, gigolo dan kemerdekaannya dalam memilih klien,
gigolo sebagai komunitas bawah tanah, hingga insyafnya gigolo. Gigolo juga
menunjukkan bahwa meskipun ia menjadi sebuah obyek yang dibeli oleh
konsumennya, namun mereka masih bisa memilih siapa konsumen yang mereka
inginkan. Selain itu, profesionalitas juga mereka pegang teguh. Hal inilah yang
menjadi pembeda antara pekerja seks pria dengan wanita dan waria.
Keyword: Film, Semiotik, Gigolo
Skripsi
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami naikkan ke hadirat Tuhan YME. Berkat karunia-Nya,
kami berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul ”Representasi Gigolo Dalam
Film Quickie Express”.
Ucapan terima kasih juga kami ucapkan kepada seluruh pihak yang telah
membantu proses penyelesaian skripsi kami. Baik dukungan secara materi dan
moral. Skripsi ini juga kami persembahkan untuk orang-orang yang datang dan
pergi, namun selalu membantu. Kami tidak dapat menyebutkannya satu per satu,
namun ucapan terima kasih selalu mengiringi kalian.
Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Diharapkan kritik dan saran
yang membangun demi sempurnanya skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat berguna
bagi para pembacanya.
Surabaya, 29 Desember 2009
Penulis
Skripsi
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR ISI
Abstrak
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Gambar
Daftar Tabel
BAB I Pendahuluan
I.1. Latar Belakang Masalah_______________________________ I-1
I.2. Perumusan Masalah__________________________________ I-6
I.3. Tujuan___________________________________________ I-7
I.4. Manfaat Penelitian___________________________________ I-7
I.5. Tinjauan Pustaka____________________________________ I-7
I.5.1. Seksualitas Dalam Konstruksi Sosial_____________________ I-7
I.5.2. Gender dan Profesi_________________________________ I-10
I.5.3. Komersialisasi Seksualitas____________________________ I-10
I.5.4. Gigolo di Indonesia ________________________________ I-12
I.5.5. Gigolo di Media___________________________________ I-14
I.5.6. Representasi_____________________________________ I-16
I.5.7. Pendekatan Semiotik Dalam Film______________________ I-17
I.6. Metodologi Penelitian_________________________________ I-19
I.6.1. Subyek Penelitian__________________________________ I-20
I.6.2. Teknik Pengumpulan Data____________________________ I-20
I.6.3. Unit Analisis_____________________________________ I-20
I.6.4. Teknik Analisis Data________________________________ I-20
BAB II Gambaran Umum Subyek Penelitian
II.1. Perfilman di Indonesia & Seksualitas ______________________ II-1
II.2. Deskripsi Cerita Film “Quickie Express” ___________________ II-5
II.2.1. Karakter Tokoh Utama dalam Film “Quickie Express” ________ II-7
II.2.2. Karakter-karakter Pendukung dalam film Quickie Express ______ II-12
BAB III Penyajian dan Analisis Data
III.1. Gigolo Sebagai Sebuah Pekerjaan _______________________
III.2. Gigolo dan Kemerdekaan Dalam Memilih Klien _____________
III.3. Gigolo Sebagai Komunitas Bawah Tanah __________________
III.4. Gigolo Insyaf _____________________________________
Skripsi
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
III-1
III-12
III-14
III-17
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB IV Kesimpulan dan Saran
IV.1. Kesimpulan ______________________________________ IV-1
IV.2. Saran __________________________________________ IV-1
Daftar Pustaka
Skripsi
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 __________________________________________ I-18
Gambar 2.1 __________________________________________ II-9
Gambar 2.2 __________________________________________ II-10
Gambar 2.3 __________________________________________ II-10
Gambar 2.4 __________________________________________ II-11
Gambar 2.5 __________________________________________ II-11
Gambar 3.1 __________________________________________ III-1
Gambar 3.2 __________________________________________ III-3
Gambar 3.3 __________________________________________ III-4
Gambar 3.4 __________________________________________ III-6
Gambar 3.5 __________________________________________ III-7
Gambar 3.6 __________________________________________ III-8
Gambar 3.7 __________________________________________ III-10
Gambar 3.8 __________________________________________ III-11
Gambar 3.9 __________________________________________ III-12
Gambar 3.10 __________________________________________ III-13
Gambar 3.11 __________________________________________ III-15
Gambar 3.12 __________________________________________ III-16
Gambar 3.13 __________________________________________ III-17
Skripsi
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 ___________________________________________
Tabel 3.1 ___________________________________________
Tabel 3.2 ___________________________________________
Tabel 3.3 ___________________________________________
Tabel 3.4 ___________________________________________
Tabel 3.5 ___________________________________________
Tabel 3.6 ___________________________________________
Tabel 3.7 ___________________________________________
Tabel 3.8 ___________________________________________
Tabel 3.9 ___________________________________________
Tabel 3.10 ___________________________________________
Tabel 3.11 ___________________________________________
Skripsi
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
I-4
III-2
III-3
III-5
III-6
III-8
III-9
III-10
III-13
III-14
III-15
III-17
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Studi ini membahas mengenai representasi gigolo dalam film Quickie
Express. Tokoh gigolo yang akan diteliti adalah Jojo (Tora Sudiro), Piktor
(Lukman Sardi) dan Marley (Amink). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
penggambaran gigolo dalam film Quickie Express.
Film, adalah salah satu karya audio visual yang bercerita mengenai
sesuatu. Film sendiri merupakan salah satu media massa yang terdiri dari berbagai
teknologi dan unsur-unsur kesenian yang memadukan perkembangan teknologi
fotografi dan rekaman suara. Selain itu, film juga disebutkan sebagai karya cipta
seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar yang
dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid atau
hasil penemuan teknologi lainnya, baik bersuara atau tidak, yang dapat
dipertunjukkan dengan sistem proyeksi mekanik dan sebagainya (UU No. 8 tahun
1992 tentang Perfilman Nasional). Film juga merupakan medium ekspresi seni
yang memberikan jalur pengungkapan kreatifitas dari berbagai cabang seni, serta
sebagai medium budaya yang dapat melukiskan kehidupan manusia dan watak
dari suatu bangsa.
Selain itu, film juga merupakan sarana untuk mengekspresikan diri bagi
pembuatnya. Sebagai salah satu media hiburan, film telah mendapat tempat
tersendiri di tengah masyarakat. Tidak hanya sebagai hiburan, film juga
Skripsi
I-1
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
merupakan media untuk merepresentasikan kenyataan yang sebenarnya terjadi di
tengah masyarakat. (Dewan Film Nasional,1994:16)
Film sebagai salah satu tampilan media massa tempat menciptakan
realitas, sesungguhnya memiliki makna yang tidak dapat dipisahkan begitu saja
dengan relasinya dalam masyarakat. Film merupakan media yang mampu
memberikan pengaruh pada masyarakat, karena dapat meniru kenyataan pesan
yang ia bawa hingga mudah dicerna dan dipahami, bahkan oleh orang-orang yang
berpikiran sederhana sekalipun, dan film telah berhasil mengubah cara kita
menanggapi lingkungan kita. Sebagai refleksi realitas sosial, film sering kali
menjadi tolak ukur gambaran peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.
Namun, pada kenyataannya, perkembangan film di Indonesia kurang
memperhatikan hal-hal tersebut. Seringkali yang menjadi tujuan utama hanyalah
profit semata. Hal ini pula yang membuat sutradara seringkali harus
mengorbankan idealismenya (Mawardhani,2005:2). Pada tahun 1950, Usmar
Ismail tampil sebagai wakil seniman film baru yang idealis. Beliau ingin
menggunakan film sebagai media ekspresi seni dan intelektual semata, jauh dari
komersialisme. Namun langkahnya terjegal oleh kalangan yang tetap ingin
menjadikan film sebagai usaha dagang semata. Para oknum-oknum yang ingin
meraup keuntungan dari film inilah yang membuat film-film sesuai dengan selera
penonton kelas bawah. Ternyata hal ini tidak menjadi solusi, sehingga pada tahun
1957
industri
film
Indonesia
menyatakan
bangkrut.
(Dewan
Film
Nasional,1994:10)
Skripsi
I-2
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Memasuki orde baru, industri perfilman Indonesia mencoba untuk bangkit
kembali. Ada dua “resep rahasia” yang digunakan untuk membangkitkan
perfilman Indonesia: kekerasan dan seks. Adegan seks, kekerasan, dan
kemewahan dalam film nasional menjadi resep klasik untuk menarik minat
penonton. Hal ini didukung pula oleh pemerintah dengan memperlonggar sensor
(Dewan Film Nasional,1994:11). Salah satu produsen film yang menggunakan
resep ini dalam perfilman Indonesia adalah PT Inem Film.
Pada awal tahun ‘70-an, adegan ciuman ataupun seks dalam film-film
lokal banyak yang "diloloskan" oleh gunting sensor. Hal ini bertujuan tidak lain
demi menarik minat penonton terhadap film nasional (Mawardhani,2005:3). Tidak
dipungkiri bahwa memang hal ini cukup manjur untuk meningkatkan minat para
penonton film di Indonesia.
Seperti pada periode 1993-1997, saat perfilman Indonesia didominasi oleh
oleh tema “esek-esek” dan kekerasan dengan judul-judul film seperti Bebas
Bercinta, Ranjang Cinta, Gairah Terlarang, Gejolak Nafsu, Permainan Erotik,
Sentuhan Erotik, Nafsu Liar, selingkuh, ecstasy dan Pengaruh Sex, Sensualitas
Wanita, Kekasih Gelap dan masih banyak lagi (Katalog Film Indonesia 19262007: xxii). Film-film seperti ini akhirnya malah mendapat protes keras dari
kalangan masyarakat yang mendesak Badan Sensor Film untuk segera
memperketat guntingannya.
Pada pertengahan tahun 1990-an terkesan ada kelesuan produksi film
nasional. Bahkan pers ikut menyatakan bahwa pada periode setelah pertengahan
1990-an sampai awal 2000-an merupakan periode mati suri perfilman nasional.
Skripsi
I-3
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Padahal, kenyataan berkata lain. Jika dilihat dari jumlah film yang diproduksi,
pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar.
TAHUN
199
4
1995
1996
1997
1998
&
1999
2000
200
1
200
2
200
3
2004
JUMLAH
FILM
26
22
34
32
4
11
3
14
15
31
Tabel 1.1
Jumlah Film yang diproduksi dalam periode 1994-2004
(berdasar data lolos sensor dari Lembaga Sensor Film)
Dari data diatas bisa dilihat bahwa film nasional tidak pernah berhenti
produksi. Kesan mati suri timbul karena film-film tersebut tidak tampak pada
bioskop-bioskop besar (Katalog Film Indonesia 1926-2007 : xxi). Ditambah lagi
dengan meningkatnya teknologi VCD yang membuat film-film impor menjadi
semakin menjamur. Teknologi ini secara tidak langsung membuat bioskopbioskop di tingkat kabupaten menjadi gulung tikar dan tergantikan oleh bioskop
Jaringan 21 yang memasuki mal-mal di tingkat ibukota provinsi. Pada periode
ini pula film-film yang mengangkat tema “esek-esek” tersingkir dari bioskopbioskop Jaringan 21 tersebut. Hal ini disebabkan oleh pergeseran karakteristik
penonton dari masyarakat bawah menjadi para remaja pengunjung-pengunjung
mal. Para pengunjung ini pada periode sebelumnya menempati tingkatan atas dari
para penonton bioskop.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa tema-tema seksualitas menjadi daya
tarik tersendiri di kalangan masyarakat Indonesia. Tetapi dengan ancaman gunting
sensor yang semakin ketat, tema seksualitas ini dipadukan dengan tema-tema lain
Skripsi
I-4
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
agar tidak terlalu terlihat vulgar.
Hal seperti ini nampaknya sudah menjadi
sesuatu yang lazim dalam perindustrian perfilman tanah air. Jika sedikit menilik
ke belakang, pada tahun 80-an, trio Warkop DKI membintangi sejumlah film
yang bertema komedi seks. Gengsi Dong (1980), IQ Jongkok (1981), Dongkrak
Antik (1982), Maju Kena Mundur Kena (1983), Bebas Aturan Main (1993) dan
sejumlah judul yang pernah menghiasi perfilman di Indonesia. Selain tema
komedi, seksualitas juga disandingkan dengan tema horror mencekam. Seperti
komedi-seks, tren film seperti ini pernah ditawarkan pada film-film yang pernah
dibintangi oleh Suzana (Perkawinan Nyi Blorong, Sundel Bolong, Malam Satu
Suro) dan Sally Marcelina (Misteri Wanita Berdarah Dingin, Tamu Tengah
Malam, Putri Kuntilanak).
Ternyata, tema-tema yang sudah pernah diangkat tersebut masih dicoba
untuk diproduksi kembali. Hasilnya adalah beberapa judul film yang menawarkan
erotisme antara lain adalah ML (Mau Lagi), Kawin Kontrak dan XL (Xtra Large).
Untuk horor, bisa dilihat pada Genderuwo, Beranak Dalam Kubur, dan
Terowongan Casablanca. Ditengah horor yang tersebar di Indonesia, hadirlah
film Quickie Express (2007) yang membawa angin segar di perfilman Indonesia.
Film ini bercerita mengenai kehidupan Jojo (Tora Sudiro), seorang pria
lajang yang tidak memiliki materi yang berkecukupan. Hal ini pula yang membuat
Jojo terus berusaha. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Om Mudakir (Tino
Saroengallo) yang menawarinya pekerjaan di perusahaan “layanan escort” milik
Mudakir. Disana Jojo bertemu dengan Piktor (Lukman Sardi) dan Marley
(Amink). Perjalanan ketiga orang pemuda ini yang menjadi inti daripada film ini.
Skripsi
I-5
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Jojo sebagai tokoh utama yang pada awalnya menentang untuk menjadi
seorang gigolo, akhirnya pasrah dan menjadi primadona lantaran terpengaruh
gelimang harta yang didapatnya. Sampai akhirnya Jojo dihadapkan pada
kenyataan bahwa ia jatuh cinta dengan anak dari salah satu pelanggannya yang
bersuamikan seorang mafia bernama Jan Pieter Gunarto (Rudy Wowor).
Keadaan perekonomian yang semakin meghimpit secara tidak langsung
membuat cara pandang, sikap dan perilaku seksual menjadi bergeser. Ternyata
gelimang harta dan hedonisme
dapat memberi efek masif bagi beberapa
kalangan. Berdasarkan hal inilah peneliti tertarik untuk melihat bagaimana
penggambaran gigolo dalam film “Quickie Express”.
Salah satu alasan mengapa topik ini yang dipilih adalah pembahasan
mengenai gigolo dalam Quickie Express belum pernah ada. Sedangkan alasan
mengapa film Quickie Express yang menjadi objek penelitian adalah film tersebut
adalah satu-satunya film Indonesia yang berani mengangkat dan bercerita secara
gamblang mengenai gigolo, mulai dari pekerjaan sampai dengan kehidupan
sehari-harinya.
I.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka
rumusan masalah yang diangkat adalah : Bagaimanakah representasi gigolo dalam
film “Quickie Express”?
Skripsi
I-6
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
I.3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui penggambaran gigolo dalam
film Quickie Express
I.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk pengembangan,
pengayaan dan pendalaman kajian komunikasi. Selain itu dapat menjadi masukan
tersendiri bagi para pembuat film Indonesia.
I.5. Tinjauan Pustaka
I.5.1. Seksualitas Dalam Konstruksi Sosial
Berger dan Luckman dalam Tafsir Sosial Atas Kenyataan menafsirkan
konstruksi sosial sebagai pengetahuan yang dibangun atas realitas yang dilihat
berdasar struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Mereka juga
membedakan pemahaman dari realitas dan pengetahuan. Realitas diartikan
sebagai kualitas yang terdapat dalam realitas yang diakui dan tidak tergantung
pada kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa
realitas tersebut nyata.
Selain itu, Berger dan Luckman juga mendefinisikan bahwa realitas sosial
adalah pengetahuan yang bersifat keseharian, yang hidup dan berkembang di
masyarakat. Terdapat 3 proses dalam konstruksi sosial yaitu:

Eksternalisasi adalah usaha ekspresi diri manusia ke dalam dunia luar,
baik kegiatan mental maupun fisik. Momen itu bersifat kodrati manusia. Ia
Skripsi
I-7
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
selalu mencurahkan diri ke tempat di mana ia berada. Ia ingin menemukan
dirinya dalam suatu dunia, dalam suatu komunitas.

Objektivikasi adalah hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik
dari kegiatan eksternalisasi manusia. Hasilnya berupa realitas objektif yang
terpisah dari dirinya. Bahkan, realitas objektif yang dihasilkan berpotensi
untuk berhadapan (bahkan mengendalikan) dengan si penghasilnya. Realitas
objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif individual. Realitas objektif
menjadi kenyataan empiris, bisa dialami oleh setiap orang dan kolektif.

Internalisasi adalah penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran
subjektif sedemikian rupa sehingga individu dipengaruhi oleh struktur sosial
atau dunia sosial. (Muslich, 2008 :152)
Manusia sebagai bagian dari masyarakat juga membangun perspekifnya
sendiri melalui apa yang dia tangkap dari kenyataan.
Manusia memiliki berbagai macam kebutuhan. Mulai dari kebutuhan akan
pangan, papan (tempat tinggal), sandang (pakaian) hingga kebutuhan akan seks.
Hal ini pula yang membuat seks menjadi topik yang kontroversial dan menarik
sepanjang masa (Kadir,2007:1). Seks sendiri dapat lepas dari kebutuhan individu
dan berubah menjadi sebuah fenomena ditengah masyarakat. Seks bukan lagi
suatu hal yang dapat dilakukan oleh sepasang suami-istri di dalam sebuah kamar
namun lebih dari itu.
“Fenomena seks pada abad 21 adalah sesuatu yang dinamis penuh dengan
ancaman, malu-malu kucing, suka sama suka, paksaan bahkan hingga
kekerasan.” (Kadir, 2007:5)
Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa fenomena seks pada abad 21 telah
bergeser dari esensi awalnya. Seksualitas pun mengalami transformasi dari
Skripsi
I-8
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
sesuatu yang bersifat pribadi menjadi suatu publisitas yang dapat dinikmati
masyarakat luas. Aris Arif Mundayat dalam Seks: Wilayah yang Diperebutkan
dan Dikontestasikan mencatat bahwa seksualitas tidak lepas dari 7 topik besar,
yaitu:

Virginitas

Komoditas Nafsu (Commodity of Lust)

Perkawinan (Moral Sexuality) dan Promiskuitas (Profane Sexuality)

Fungsi
kekerabatan
(Kebutuhan
akan
kerabat
serta
penolakan
terhadapnya)

Disiplinasi Moralitas, melalui tubuh dan liberasi tubuh

Sumber Nilai Moral: Agama dan Kesakralan

Wacana Patriarki (Kadir,2007:7)
Jika sedikit melihat kebelakang, sejarah dan seksualitas berjalan beriringan.
Mulai dari gaya berpakaian terbuka yang digunakan oleh perempuan di Mesir,
ketelanjangan yang menjadi sebuah simbol sikap lemah lembut dan murah hati,
serta kebudayaan Romawi yang menganggap ketelanjangan adalah sesuatu yang
legal. Bahkan, pada abad pertengahan, keperawanan dikomoditikan kepada
seorang perempuan sebagai barang komersial (Kadir:2007:8).
Hal ini menunjukkan bahwa komoditas nafsu sudah terjadi semenjak dulu.
Fenomena ini tetap abadi hingga saat ini dengan begitu banyaknya tempat
prostitusi dan berbagai jenisnya yang berada di tengah masyarakat. Pada
penelitian ini, komoditas nafsu yang menjadi sebuah tema besar yang akan
dibahas.
Skripsi
I-9
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
I.5.2 Gender dan Profesi
Ditengah masyarakat sudah terbentuk mindset mengenai gender dan
profesi yang lazim untuk dilakukan. Hal ini sudah ditekankan kepada setiap
individu semenjak dahulu, dimana pria harus menjadi seorang pemimpin keluarga
dan wanita mendukungnya dari belakang.
Sebagai contoh, seorang ayah (laki-laki) haruslah mencari pekerjaan diluar
dan bertanggung jawab terhadap keluarga. Sedangkan seorang ibu (perempuan),
tinggal dirumah, mengurus anak dan memasak. Seorang ayah juga dituntut untuk
bersifat maskulin (andro), sedangkan ibu dituntut untuk bersifat feminin (gyne).
Selain itu figur laki-laki yang maskulin seringkali dikaitkan dengan sektor
publik, dan sebaliknya seorang perempuan dikaitkan dengan sektor domestik.
Karena seorang laki-laki berada pada sektor publik yang notabene berhubungan
dengan banyak orang, maka masalah perjaka atau tidak bukanlah menjadi
permasalahan yang penting dan tabu bagi laki-laki. Lain halnya dengan
keperawanan dalam pandangan laki-laki, yang dianggap penting. (Kadir,
2007:13).
Ironisnya, saat seorang pekerja seks pria yang pada dasarnya dipenuhi
dengan ego dan hirarki kekuasaan terhadap perempuan, harus tunduk kepada
konsumennya yang notabene adalah perempuan. Tentu saja hal ini menjadi
menarik untuk dilihat dalam penggambaranya di film Quickie Express.
I.5.3.Komersialisasi Seksualitas
Komersialisasi seksualitas bukan merupakan hal baru di tengah masyarakat.
Fenomena ini sudah terjadi semenjak abad pertengahan, dimana keperawanan bisa
Skripsi
I-10
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
menjadi sebuah alat tukar dalam perdagangan (Kadir, 2007:8). Munculnya pekerja
seks di Indonesia tidak lepas dari perdagangan global pada abad 17-18. Saat para
pedagang dari luar tiba di Indonesia, mereka mencoab melakukan transaksi
seksual. Hal ini disambut baik oleh penduduk pribumi (Kadir, 2007:163). Hal ini
pun terus berkembang, hingga pada saat ini.
Seksualitas di komersilkan melalui berbagai bentuk. Baik melalui bisnis
“jual beli” kenikmatan, sampai dengan pengangkatan tema-tema mengenai
seksualitas pada media. Dapat kita lihat pada jumlah film porno yang beredar,
majalah porno, dan film-film yang tidak termasuk dalam kategori tripel X namun
mengangkat mengenai tema seksualitas dan dipadukan dengan tema horor dan
komedi. Ronald Weitzer dalam Sex for Sale menuliskan:
Sex for sale is a lucrative growth industry. In 2006 alone, Americans spent $13.3
billion on X-rated magazines, videos and DVDs, live sex shows, strip clubs, adult
cable shows, computer pornography, and commercial telephone sex. Rentals and
sales of X-rated films jumped from $75 million in 1985 to $957 million in 2006.
(Weitzer, 2010: 1)
Hal ini menunjukkan bahwa seksualitas menjadi sebuah lahan yang sangat
menguntungkan jika dilihat dari segi bisnis. Dengan ketertarikanmasyarakat yang
begitu besar, tentunya akan mendatangkan keuntungan yang berlipat ganda bagi
mereka yang bergerak di bidang tersebut. Pekerja seks secara global juga diterima
oleh International Labour Organization (ILO) karena telah memenuhi syarat
untuk disebut sebagai sebuah pekerjaan (Kadir, 2007:157).
Para pekerja seks yang ada di tengah masyarakat dapat dikategorikan
menjadi 3 bagian yaitu pekerja seks wanita, pekerja seks waria, dan pekerja seks
pria (gigolo). Yang sangat mudah dijumpai di tengah masyarakat adalah pekerja
Skripsi
I-11
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
seks wanita dan waria. Seringkali, para pekerja seks wanita sudah dilokalisir ke
dalam satu tempat (seperti Dolly di Surabaya, Sunan Kuning di Semarang dsb.).
Namun tidak jarang masih ada yang bergerak secara individual. Hal ini berbeda
dengan pekerja seks waria dan pekerja seks pria yang tidak dilokalisir. Gigolo,
justru lebih individual, terpencar dan lebih tersembunyi. (Kadir,2007:144).
Ada beberapa alasan yang menjadi latar belakang hadirnya profesi ini,
antara lain:

Kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan hidup

Ketidakpuasan terhadap pekerjaan yang tegah dilakukan dan penghasilan
yang diangap belum cukup

Kecerdasan yang tidak cukup untuk memasuki sector formal

Latar
belakang
kerusakan
atau
ketidakutuhan
dalam
kehidupan
berkeluarga

Tidak puas dengan kehidupan seksualnya

Memiliki cacat secara badaniah (Kadir,2007:171)
I.5.4. Gigolo di Indonesia
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia gigolo berarti laki-laki bayaran
yg dipelihara seorang wanita sebagai kekasih; 2 laki-laki sewaan yg pekerjaannya
menjadi pasangan berdansa. Pada kenyataannya, para gigolo tidak hanya berdansa
di lantai dansa, melainkan juga ‘berdansa’ di atas ranjang. Thung Ju Lan, sosiolog
Universitas Indonesia megatakan bahwa gigolo ,merupakan suatu gejala yang
wajar berkembang, dimana penyimpangan tersebut menyangkut cara bersaing.
Dalam jasa ‘jual tubuh’ ini juga menyangkut kepuasan pelayanan, penjualan,
Skripsi
I-12
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
pengabaian perasaan emosional, dan hubungan transaksi demi mencapai nilai
nominal yang disepakati. (Kadir, 2007 :156).
Keberadaan gigolo di Indonesia nyaris tidak terdeteksi di tengah
masyarakat karena sangat tertutup. Gigolo bekerja pada tataran menengah keatas.
Selain itu, mereka memiliki daya tawar (bargaining power) dalam memilih
pelanggannya. Terutama bagi pelanggan yang memelihara mereka. Berbeda
dengan pekerja seks wanita yang tidak memiliki daya tawar terhadap siapa
konsumennya, gigolo bisa menolak pelanggan yang dianggap tidak memenuhi
kriterianya. Dari sini, dapat dilihat bahwa dalam dunia pekerja seks, pria masih
menganut sistem patriarkal (Kadir,2007:144). Meskipun mereka dibayar untuk
memuaskan pelanggannya, namun posisi mereka masih tetap diatas para
konsumennya. Ternyata meskipun dalam dunia pekerja seks, terlihat adanya relasi
seksualitas yang bersifat hirarkis dalam mengontrol seksualitas perempuan.
Selain mendapat upah berupa uang, gigolo juga seringkali mendapat imbalan
berupa barang dan rekreasi gratis. Sedangkan untuk menjaga tubuhnya, gigolo
mengkonsumsi jamu-jamuan serta aktif berolahraga. Dalam pelayanan, gigolo
secara profesional akan menuruti kemauan dari pihak klien. Selain itu, sesama
gigolo berlaku peraturan tidak tertulis bahwa sesama gigolo tidak boleh ada
persaingan dan tidak boleh saling menyerobot klien milik orang lain. Bagi gigolo,
cinta terhadap klien harus dihindari, karena dapat mengganggu pekerjaannya
dikemudian hari (Lestari, 2008: II:24-25; 37-38).
Motivasi menjadi gigolo bisa berbagai macam. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan denok Puji Lestari pada tahun 2008, pria yang memilih menjadi
Skripsi
I-13
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
gigolo ingin memiliki uang yang banyak, ingin bersenang-senang, serta
diperkenalkan oleh teman mereka sendiri. Uang, bisa dikategorikan sebagai motif
external, sedangkan kesenangan dan kepuasan batin, merupakan motif internal.
Para gigolo cenderung memiliki kedekatan emosional dengan pelanggan. Namun,
disisi lain, mereka menolak untuk jatuh cinta pada pelanggan, dengan alasan
profesionalitas. Mereka biasanya menjalankan tugasnya di sebuah hotel yang
disepakati, atau di luar kota.
Kemampuan gigolo untuk membaca karakter dari pelanggan merupakan
salah satu nilai tersendiri dalam bisnis ini. Selain itu, hubungan antara sesama
gigolo cenderung baik serta persaingan berlangsung sehat.
I.5.5. Gigolo di Media
Di dalam perfilman Indonesia, tema seksualitas bukan merupakan hal
baru. Beberapa judul film yang mengangkat mengenai tema tersebut sempat
menghiasi bioskop di Indonesia. Sebut saja Bebas Bercinta, Ranjang Cinta,
Gairah Terlarang, Gejolak Nafsu, Permainan Erotik, Sentuhan Erotik, Nafsu
Liar, selingkuh, ecstasy dan Pengaruh Sex, Sensualitas Wanita, Kekasih Gelap
dan masih banyak lagi (Katalog Film Indonesia 1926-2007: xxii). Yang terlihat
dari sejumlah judul diatas, yang menjadi komoditi dalam film tersebut adalah
wanita. Padahal, dalam kenyatannya, tema seksualitas juga dapat diangkat dari
sudut pandang berbeda, seperti pekerja seks pria (gigolo). Entah mengapa
penggambaran gigolo dalam media di Indonesia masih sangat jarang.
Sedangkan jika kita melihat film-film yang menceritakan mengenai
pekerja seks pria di luar negeri, ternyata cukup banyak. Judul-judul film tersebut
Skripsi
I-14
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
antara lain adalah American Gigolo (1980), My Own Private Idaho (1991)
Endgame (2001) (Brock, 2006:161). Selain itu, film mengenai gigolo yang
dipadukan dengan komedi adalah Deuce Bigalow: Male Gigolo (1999) dan Deuce
Bigalow: European Gigolo (2005).
Di Indonesia, film yang secara jelas dan gamblang menggambarkan
mengenai gigolo dan kehidupannya adalah film Quickie Express. Berikut jawaban
Dimas Djayadiningrat sebagai pembuat film ketika ditanya mengapa gigolo yang
diangkat dalam filmnya:
...Dan gigolo sebenarnya menarik karena di saat pria yang dengan sejuta
egonya, sejuta harga dirinya menjalankan pekerjaan itu, maka seluruh ego dan
harga diri itu hilang. Dia dibayar, jadi harus jauh-jauh membuang harga dirinya
dan egonya. Profesi gigolo nggak semudah yang kita pikir: datang langsung
hajar…(http://www.antara.co.id)
Dengan latar belakang tersebut, film Quickie Express berhasil dibuat.
Suatu hal yang menarik untuk diteliti, ketika sebuah tema yang sebelumnya tidak
pernah atau jarang diangkat ke media hadir ditengah-tengah masyrakat. Film luar
negeri yang serupa dengan Quickie Express adalah Deuce Biggalow, baik Male
Gigolo dan European Gigolo. Dalam Deuce Bigalow: Male Gigolo, Deuce,
seorang pemuda yang bekerja sebagai pembersih kolam tiba-tiba beralih profesi
menjadi seorang gigolo karena terbelit hutang. Sedangkan pada Deuce Bigalow:
European Gigolo, dikisahkan kelanjutan hidup dari Deuce yang ternyata tetap
menjadi gigolo. Dalam seri ke-2 film Deuce Bigalow ini juga diperlihatkan saat
seluruh gigolo dari penjuru dunia berkumpul. Bahkan mereka mengadakan acara
penganugrahan gigolo terbaik. Hal ini terlihat bahwa gigolo di Eropa tidak lagi
Skripsi
I-15
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
tertutup. Mereka sudah berani tampil di tengah masyarakat. Hal ini berbeda
dengan keadaan gigolo di Indonesia yang masih sangat tertutup.
I.5.6. Representasi
Representasi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah perbuatan
mewakili, keadaan diwakili serta apa yang mewakili. Menurut Eriyanto, di dalam
media representasi merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan
atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan (Eriyanto, 2001:113). Dua
hal yang penting dalam representasi adalah apakah seseorang, kelompok, gagasan
atau pendapat tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya (secara berimbang, atau
hanya sisi buruknya saja) dan bagaimanakah representasi tersebut ditampilkan dan
siapa yang menampilkan (melalui kata, kalimat, foto).
Representation refers to the construction in any medium (especially the mass
media) of aspects of ‘reality’ such as people, places, objects, events, cultural
identities and other abstract concepts. Such representations may be in speech or
writing as well as still or moving picture. (Media representation,
http://www.aber.ac.uk)
Menurut Fiske dalam Television Culture, ada tiga proses dalam
menampilkan representasi suatu objek dalam media:
o Level pertama: Bagaimana peristiwa ditandakan. Dalam bahasa gambar,
seringkali aspek ini dihubungkan dengan pakaian, lingkungan, ucapan dan
ekspresi.
o Level kedua: Bagaimana realitas digambarkan. Dalam bahasa gambar, alat
tersebut berupa kamera, pencahayaan, editing atau musik.
o Level ketiga: Bagaimana peristiwa tersebut diorganisir dalam konvensi
yang diterima di dalam masyarakat. (Fiske, 1999:5)
Skripsi
I-16
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Stuart Hall menyatakan bahwa proses representasi terbagi atas dua bagian.
Pertama, representasi mental, yaitu sesuatu yang terbentuk dalam kepala kita.
Kedua, representasi bahasa, yang berperan penting dalam konstruksi makna.
Representasi
mental
diterjemahkan
melalui
bahasa,
untuk
kemudian
menghubungkan konsep mengenai simbol-simbol tertentu.
I.5.7. Pendekatan Semiotik Dalam Film
Semiologi atau yang lebih dikenal dengan semiotika merupakan suatu
ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Pandangan yang mendasari
semiotik sendiri dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure dan C.S Pierce.
Sausure berpendapat bahwa semiotik adalah sebuah ilmu yang mengkaji
kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat. Saussure sendiri membagi tanda
(sign) menjadi signifier dan signified. Signifier adalah tanda yang kita lihat atau
dengar. Sedangkan signified adalah mental konsep yang terbentuk dalam pikiran
manusia.
“The signifier is the sign’s image as we perceive it—the marks on the paper or
the sounds in the air; the signified is the mental concept to which it refers.”(Fiske,
1996: 44)
Contohnya, saat kita melihat seekor hewan berkaki empat yang menyalak
(signifier), dalam pikiran kita akan langsung mendefinisikan hewan tersebut
adalah seekor anjing (signified). Jika digambarkan, bagan mengenai tanda (sign)
dan hubungannya dengan signifier dan signified adalah seperti dibawah ini
Skripsi
I-17
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
SIGN
SIGNIFIER
SIGNIFIED
Gambar1.1
Tanda menurut Saussure
(Turner, 1999:55)
Dasar dari analisis Saussure terletak pada dua level yaitu level denotasi
dan konotasi. Level denotasi adalah proses identifikasi terhadap suatu objek
berdasarkan indra kita. Level denotasi ini merupakan petanda pertama dalam
proses signifikasi. Pada saat kita melihat seekor hewan yang berbulu, berkaki
empat dan menyalak merupakan hewan bernama anjing, atau saat kita melihat
huruf A,N, J, I, N dan G membentuk suatu kata, ini adalah proses identifikasi.
Sedangkan level konotasi adalah petanda kedua dalam proses signifikasi,
dimana setelah proses indentifikasi terjadi, kita terkadang memiliki pemahaman
yang berbeda mengenai suatu objek. Bagi para pecinta binatang, ketika melihat
seekor anjing yang sedang duduk, maka mereka akan berpikiran bahwa anjing
tersebut tidak berbahaya.
Teori yang dikemukakan oleh Saussure ini kemudian dikembangkan oleh
penerusnya, Barthes. Hampir sama dengan Saussure, dalam teori yang
dikemukakan oleh Barthes menggunakan denotasi dan konotasi. Hanya saja,
dalam teori Barthes denotasi dan konotasi tidak hanya sekedar petanda melainkan
sekumpulan petanda. Selain itu, Barthes juga menambahkan myths. Nick Lacey
dalam Image and Representation: Key Concepts In Media Studies memberi
contoh mengenai teori ini dengan mawar. Mawar, dapat membentuk konsep
Skripsi
I-18
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
mental dari romantisme terutama jika mawar tersebut berwarna merah dan
dikaitkan dengan perayaan hari Valentine. Romantisme adalah mitos yang berarti
hubungan percintaan antara pria dan wanita dalam bentuk kelembutan dan
perhatian.
Hampir tidak mungkin untuk memahami ‘bunga mawar merah dalam
perayaan Valentine’
yang melambangkan romantisme. Dalam hal ini terjadi
proses konotasi yang menjadi denotasi. Mitos adalah konotasi yang ditampilkan
sebagai denotasi (Lacey, 1998: 68).
Dalam film, sebuah scene dapat dilihat secara denotasi dengan melihat isi
dari scene tersebut, baik dialog, suara (ambience), angle, kostum dan lain
sebagainya. Sedangkan konotasi dapat dilakukan berdasarkan dengan frame of
reference dan frame of experience dari masing-masing audience.
Setiap
unsur
dalam
film
mempengaruhi
pemaknaan
individu,
menghasilkan pemaknaan yang berbeda-beda. Baik setting, kostum, dialog, tokoh
dan karakternya dapat diinterpretasikan secara personal oleh masing masing
audience.
I.6. Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan
tipe
penelitian
ini
adalah
deskriptif,
dimana
peneliti
berusaha
untuk
menggambarkan bagaimana gigolo direpresentasikan melalui sistem tanda dalam
film “Quickie Express” oleh tokoh Jojo.
Skripsi
I-19
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan metode analisis semiotik.
Semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda
(Sobur,2004:15). Dengan menggunakan metode semiotik, peneliti berusaha
menggali realitas real yang didapatkan melalui interpretasi simbol-simbol dan
tanda-tanda yang ditampilkan sepanjang film.
I.6.1. Subyek Penelitian
Subyek yang digunakan adalah film Quickie Express, khususnya tokoh
Jojo, Piktor dan Marley yang menjadi tokoh utama gigolo.
I.6.2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengamatan terhadap film
Quickie Express dalam kepingan DVD original. Selain itu, penelitian ini juga
menggunakan buku, skripsi, data internet dan lain sebagainya sebagai penguat
data sekunder.
I.6.3. Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah tabel mengenai denotasi yang
berisi interpretasi yang terlihat dalam scene-scene dalam film Quickie Express.
I.6.4. Teknik Analisis Data
Analisis semiotik dilakukan dengan mengamati sistem tanda (sign) dalam
film. Sign yang disimbolkan dalam film “Quickie Express” kemudian dimaknai
dan diinterpretasikan menggunakan semiotik Barthes melalui Denotasi dan
Konotasi. Peneliti tidak menggunakan Myth disebabkan karena penelitian
mengenai representasi gigolo dalam film masih ajrang dilakukan. Hasil
interpretasi tersebut didasarkan pada frame of reference dan field of experience
Skripsi
I-20
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
peneliti yang nantinya akan dihubungkan dengan acuan kepustakaan yang telah
ditulis sebelumnya.
Skripsi
I-21
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB II
GAMBARAN UMUM SUBYEK PENELITIAN
II.1. Perfilman Indonesia & Seksualitas
Film adalah rangkaian gambar bergerak dan bersuara yang ditata
sedemikian rupa sehingga menceritakan mengenai sesuatu. Dalam sebuah film,
biasanya terkandung pesan-pesan tertentu yang ingin disampaikan oleh pembuat
film yang bersangkutan, dengan caranya masing-masing. Bahasa film merupakan
kombinasi antara bahasa suara dan bahasa gambar.
Film juga disebut sebagai salah satu karya seni budaya audio-visual yang
dibuat berdasarkan sinematografi, yang direkam dengan pita seluloid atau dengan
segala penemuan teknologi lain yang ditampilkan dengan sistem proyeksi
mekanik, elektronik dan sebagainya (Dewan Film Nasional,1994:15). Film selain
dianggap sebagai medium komunikasi, juga berfungsi sebagai medium ekspresi
seni yang dapat melukiskan kehidupan manusia dan watak dari suatu bangsa. Bagi
artis, film dianggap sebagai sarana ekspresi seni dan sarana pemenuhan kebutuhan
hidup. Sedangkan bagi penonton, film merupakan media untuk hiburan sekaligus
untuk menambah pengetahuan.
Perfilman Indonesia pada dasarnya memiliki sejumlah tujuan, antara lain,
sebnagai peningkatan kecerdasan bangsa, memelihara ketertiban umum dan rasa
kesusilaan, pengembangan nilai budaya Indonesia dan sebagai penyaji hiburan
yang sehat sesuai norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (UU
No. 8 Tahun 1992).
Skripsi
II-1
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Sejarah film dunia dimulai tepatnya pada tanggal 28 Desember 1895.
Ketika itu Lumiere bersaudara telah mengadakan pemutaran film di hadapan
publik, yang bertempat di Cafe de Paris. Kejadian unik terjadi saat gambar
lokomotif yang sedang melaju kearah penonton membuat sebagian penonton
berlari dan bersembunyi dibawah kursi (Biran, 2009:XV). Sedangkan di
Indonesia, gambar hidup (gambar idoep) mulai dikenal oleh masyarakat pada
awal abad ke-20. Sebelum film menjadi hiburan yang dikenal di tengah
masyarakat, telah ada berbagai pertunjukan-pertunjukan panggung serupa dengan
opera yang disebut dengan Opera Stambul.
Pada awalnya, film bagi kaum pribumi umumnya ditujukan bagi kelas
pekerja. Bahan ceritanya biasanya diadopsi dari pertunjukan-pertunjukan
panggung seperti yang dibawakan dalam Opera Stambul. Berbagai cara ditempuh
untuk menarik penonton. Musik, tarian dan perkelahian berberapa alternatif untuk
memuaskan penonton. Hal ini juga bukan tanpa sebab. Pada waktu itu, yang
menjadi tujuan utama adalah uang dengan ‘sedikit’ memberi hiburan.
Film lokal yang pertama kali dibuat adalah Loetoeng Kasarung pada tahun
1926. Film tersebut merupakan film cerita pertama di Indonesia, dengan para
pemain di dalamnya adalah orang pribumi. Setelah itu, semakin banyak produksi
film-film lokal. Antara lain adalah Eulis Atjih (1927), Resia Borobodoer (1929),
Njai Dasima (1929) Boenga Roos dari Tjikembang (1931), Lari ke Arab (1930),
Indonesia Malaise (1931), SiPitung (1931) dan masih banyak lagi. Hingga pada
tahun 1938, dimana film Terang Boelan berhasil membuat gebrakan dalam
sejarah film di Indonesia (Biran, 2009: 25). Terang Boelan berhasil menarik
Skripsi
II-2
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
penonton dan meraup untung. Film tersebut dibuat dengan orientasi kepada selera
publik, tanpa mengemban idealisme tertentu.
Seusai perang kemerdekaan, tepatnya di awal 1950, Usmar Ismail ingin
melahirkan film nasional yang memiliki ciri kepribadian Indonesia. Film tersebut
berhasil terwujud dan berjudul Darah dan Doa. Untuk lebih memperkenalkan dan
mengangkat derajat film Indonesia, maka diadakanlah Festival Film Indonesia.
(FFI). FFI sendiri dipelopori oleh Djamaludin Malik. FFI untuk pertama kali
diadakan pada tanggal 30 Maret -5 April 1955. FFI pun berjaya pada era 1970
sampai akhir 1980 (Pontianak Post, 14 Desember 2004). Pada tahun 1992 FFI
dihentikan sementara.
Meskipun perfilman Indonesia mengalami pasang surut, dan bahkan
sempat menyatakan bangkrut (pada tahun 1957), film Indonesia tidak pernah
berhenti berproduksi. Kesan ‘mati suri’ timbul karena sejumlah film yang
diproduksi tersebut tidak memasuki gedung-gedung bioskop besar (Katalog Film
Indonesia 1926-2007: xxi). Dan untuk menghilangkan kesan ‘mati suri’ tersebut,
sekaligus mengangkat produksi film di Indonesia, maka pemerintah mengambil
keputusan untuk mengurangi ketatnya gunting sensor. Hal ini berdampak pada
maraknya film-film yang bertemakan seks dan kekerasan pada tahun 70-an. Tema
ini masih menjadi senjata ampuh bagi pembuat film hingga pada sekitar periode
1993-1997 (Katalog Film Indonesia 1926-2007: xxii).
Untuk menghindari dampak gunting sensor, para pembuat film
memadukan tema-tema seks tersebut dengan tema-tema komedi (komedi-seks).
Hal ini dapat dilihat pada film-film yang dibintangi Warkop DKI seperti Gengsi
Skripsi
II-3
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Dong (1980), IQ Jongkok (1981), Dongkrak Antik (1982), Maju Kena Mundur
Kena (1983), Bebas Aturan Main (1993). Selain itu, tema horor juga ikut
dikombinasikan dengan tema seks. Ini dapat dilihat pada film-film yang
dibintangi oleh Suzana, antara lain(Perkawinan Nyi Blorong, Sundel Bolong,
Malam Satu Suro) dan Sally Marcelina (Misteri Wanita Berdarah Dingin, Tamu
Tengah Malam, Putri Kuntilanak).
Kebangkitan perfilman Indonesia pasca reformasi ditandai dengan film
Kuldesak (1998). Dilanjutkan pada tahun 2000 dengan film Petualangan Sherina,
Jelangkung, dan Ada Apa Dengan Cinta. Perkembangan yang signifikan, pada
tahun 2004 FFI kembali diadakan, setelah sebelumnya vakum selama 12 tahun.
Momentum ini dipandang oleh sejumlah pengamat film sebagai kebangkitan film
di tanah air.
Yang tampil sebagai pemenang adalah film karya Nia Dinata
berjudul Arisan. Film ini berhasil menyisihkan film-film lain seperti Eliana
Eliana, Ada Apa Dengan Cinta (AADC), Marsinah, dan Mengejar Matahari
(Liputan 6, FFI 2004: Kebangkitan Film Nasional).
Setelah lama berlalu, ternyata tema-tema seputar seks yang dipadu dengan
komedi atau seks dengan horror masih digunakan oleh para pembuat film untuk
menarik penonton. Sebagian film yang beredar itu antara lain adalah ML (Mau
Lagi), Kawin Kontrak dan XL (Xtra Large), Genderuwo, Beranak Dalam Kubur,
dan Terowongan Casablanca. Salah satu film yang bertemakan komedi-seks
adalah Quickie Express. Film ini tidak mengandalkan kemolekan tubuh,
melainkan isu sosial yang juga diangkat dari tengah masyarakat. Film ini mencoba
menunjukkan bahwa kejamnya faktor ekonomi terkadang membuat orang rela
Skripsi
II-4
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
melakukan apa saja, bahkan menjual dirinya. Hal ini tidak hanya berlaku pada
wanita, melainkan pada pria pun terjadi hal yang sama. Film QE menjadi menarik
karena isu yang diangkat berbeda dengan film-film kebanyakan. Selain itu, QE
menjadi film yang menghibur ditengah derasnya film-film horor lokal pada saat
itu.
Berkaitan dengan fungsi film sebagai media hiburan dan media
pembelajaran film dapat memperkaya pengalaman hidup seseorang. Film bisa
dianggap sebagai pendidik yang baik. Namun, film juga selalu diwaspadai karena
kemungkinan pengaruh-pengaruhnya yang buruk (Dewan Film Nasional,1994:
16)
II.2. Deskripsi Cerita Film “Quickie Express”
Judul Film
: Quickie Express
Rilis
: 22 November 2007
Produksi
: Kalyana Shira
Sutradara
: Dimas Djayadiningrat
Pemain
: Tora Sudiro, Amink, Lukman Sardi, Sandra Dewi,
Ira Maya Sopha, Tino Saroengallo
Quickie Express bercerita mengenai anak muda yang dihadapkan pada
kenyataan bahwa kehidupan itu keras. Bermula dari seorang pemuda bernama
Jojo (Tora Sudiro) yang mau bekerja apa saja untuk menyambung hidup. Mulai
dari cleaning service di sebuah perbelanjaan, hingga menjadi tukang tambal ban di
pinggir jalan. Di tempat inilah Jojo bertemu dengan Mudakir (Tino Saroengallo),
seorang pemilik jasa layanan escort berkedok restoran pizza bernama Quickie
Express. Beliaulah yang menawari pekerjaan baru pada Jojo,yaitu gigolo.
Skripsi
II-5
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Jojo yang semula berpegang teguh pada harga dirinya, mulai tergiur
dengan tawaran dari Mudakir. Keesokan harinya, Jojo kembali ke tempat tersebut
dan menemui Mudakir. Ternyata disana Jojo bertemu dengan 2 orang calon gigolo
lain bernama Piktor (Lukman Sardi) dan Marley (Amink). Piktor, lulusan
Komunikasi dengan ciri khas tidak bisa mengucap F. Sedangkan Marley, seorang
rasta yang menganggap Bob Marley adalah nabi. Sebagai anak baru di Quickie
Express, mereka harus melalui serangkaian training. Setelah dianggap mampu,
barulah mereka bertiga diturunkan ke lapangan.
Mereka bertiga menikmati pekerjaan barunya sebagai pemuas dahaga para
wanita (dan waria). Bahkan Marley, yang memiliki “Mr. P” paling kecil memiliki
ramuan khusus untuk tahan lama. Hingga di suatu malam, saat selesai bertugas,
mereka diolok-olok oleh beberapa pria kelas atas. Hal ini membuat mereka
terlibat dalam perkelahian, dan salah satu pukulan telak yang salah sasaran
berhasil membuat Lila (Sandra Dewi) terkapar. Jojo membawa Lila pulang
kerumahnya. Saat inilah Jojo merasakan getaran cinta. Namun sayang, ia belum
berhasil mendapatkan nomer teleponnya
Keesokan harinya, Marley terkena insiden kecil. “Mr. P”nya tergigit ikan
piranha sehingga harus dibawa ke rumah sakit. Dasar jodoh, disana Jojo bertemu
dengan Lila dan berhasil mendapatkan nomer teleponnya. Saat di tempat kerja,
Jojo ternyata telah berhasil naik level. Jojo tidak perlu memakai seragam dan
kliennya merupakan klien kelas atas. Salah satu klien yang ketagihan dengan Jojo
adalah tante Mona(Ira Maya Sopha).
Skripsi
II-6
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Yang tidak diketahui Jojo, Lila sebenarnya adalah anak dari tante Mona
dengan suaminya, Jan Pieter Gunarto (Rudy Wowor) seorang mafia kelas kakap.
Hubungan Jojo dengan Lila berjalan lancar. Begitu pula pelayanan Jojo terhadap
tante Mona. Semuanya berubah saat Jojo bertandang ke rumah Lila, dan bertemu
dengan tante Mona beserta suaminya.
Setelah kejadian itu, tante Mona semakin over protektif terhadap Jojo.
Bahkan dia mengancam akan membocorkan perselingkuhannya dengan Jojo
kepada suaminya. Sementara hubungan Jojo dengan Lila menjadi semakin sulit,
Jojo mengambil keputusan untuk berkata jujur mengenai profesinya. Akibatnya,
Lila shock. Disatu sisi, Jan Pieter Gunarto juga tertarik dengan Jojo karena
kemiripan wajahnya dengan mantan kekasihnya yang telah meninggal, Bram.
Sementara itu, pacar sekaligus tangan kanan Jan Pieter Gunarto, Matheo
(Tio Pakusadewo) cemburu terhadap Jojo. Konon, hal inilah yang membuat
Matheo beserta anak buahnya menyerbu Quickie Express.Matheo yang dibakar
api cemburu berusaha mengejar Jojo dan bermaksud membunuhnya. Sampai
akhirnya, Matheo tewas terjatuh dari bianglala.
Pada akhir cerita, Marleyd dan Piktor mencoba mencari pekerjaan lain.
Sementara itu, Jojo sendiri memutuskan untuk beralih profesi, dari gigolo menjadi
“Pemburu” calon gigolo.
II.2.1. Karakter Tokoh Utama dalam Film “Quickie Express”
Prostitusi dan seks merupakan hal yang sulit dipisahkan. Apalagi dengan
keadaan keuangan yang tidak selalu sehat membuat pikiran tidak dapat berpikir
Skripsi
II-7
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
jernih. Hal ini yang coba diangkat oleh Kalyana Shira dalam film Quickie
Express.
Quickie Express mencoba mengangkat realita yang ada di masyarakat.
Baik dari cara pandang dan cara berpikir dalam menghadapi masalah. Selain itu,
Quickie Express menyorot isu yang selalu ada kapanpun dan dimanapun yaitu
prostitusi. Tidak seperti prostitusi yang biasanya identik dengan wanita sebagai
objek seks, pada Quickie Express justru pria yang biasanya superior, harus tunduk
pada wanita yang membayarnya.
Pada film Quickie Express, tokoh utamanya adalah tiga orang pemuda
biasa yang menjelma menjadi mesin seks. Ketiga orang tersebut adalah Jojo,
Piktor dan Marley.
A. Jojo
Jojo digambarkan sebagai seorang pemuda yang mau bekerja keras demi
untuk melanjutkan hidupnya. Segala pekerjaan dicobanya. Mulai dari cleaning
service, tukang tato, sampai menjadi seorang tambal ban di pinggir jalan pun
dilakukannya. Tekad Jojo ini tergambar pada narasi setelah ia menjatuhkan ibuibu di pusat perbelanjaan.
Jojo: “Orang kalah, adalah orang yang berhenti berusaha. Gue bukan.”
Skripsi
II-8
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Gambar 2.1
Jojo sebagai tukang tambal ban
Sampai akhirnya, ia bertemu dengan Mudakir. Oleh Mudakir, Jojo dibawa
ke Quickie Express dan ditawari pekerjaan untuk menjadi seorang gigolo.
Meskipun Jojo seorang pemuda yang hidupnya serba terbatas, ia masih memiliki
harga diri. Ini terlihat pada dialog Jojo dengan Mudakir di Pink Room
Jojo
Mudakir
: “Gigolo??”
: “Sebenarnya ga ada alasan buat kaget dengar kata itu. Itu
kan cuma profesi, sama seperti dokter...”
Jojo
: “Dokter pekerjaan terhormat, nah ini...”
Mudakir
: “Sama aja. Kalo ente mengerjakan pekerjaan ente dengan
baik, pelanggan puas, ente bakal dapet hormat...”
Jojo
: “Denger ya Om, gue ga bakalan jadi gigolo.”
Namun Mudakir tidak kehabisan cara untuk meyakinkan Jojo bahwa
takdirnya adalah menjadi gigolo. Dengan mesin bimbingan karir, Mudakir
memperlihatkan fakta-fakta pendukung bahwa Jojo layak jadi gigolo.
Skripsi
II-9
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Gambar 2.2
Jojo dan Mudakir di Pink Room
Akhirnya prinsip Jojo berhasil dipatahkan. Jojo memilih untuk menjadi
gigolo daripada bekerja di Multilevel Marketing. Meskipun begitu, Jojo belum
merasa bahwa masa depannya akan menjadi lebih jelas, dia merasa makin suram.
Namun perlahan tapi pasti, Jojo dibentuk menjadi ‘mesin seks’ yang tahan
banting.
Gambar 2.3.
Jojo dan kedua temannya sedang berlatih
B. Piktor
Piktor digambarkan sebagai seorang sarjana komunikasi. Dia bercita-cita untuk
menjadi seorang presenter. Namun, hal tersebut belum dapat terwujud lantaran ia
memiliki kesulitan dalam pengucapan konsonan “F” dan “V”, menjadi “P”. Piktor
merupakan rekan satu angkatan dengan Jojo dan Marley dalam Quickie Express.
Skripsi
II-10
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Gambar 2.4.
Piktor Saat Berada di Ruang
Fitness
Diantara ketiga orang tersebut, Piktor juga digambarkan sebagai ahli dalam
masalah seks, terutama dalam perihal titik rangsang pada lawan jenis. Bersama
sama dengan Jojo dan Marley, Piktor melakukan tugasnya melayani klien-klien
yang membutuhkan jasanya.
C. Marley
Gambar 2.5.
Marley Saat Berada di Ruang
Fitness
Marley digambarkan sebagai seorang Rastafarian. Dimana ia menganggap Bob
Marley sebagai dewa. Penampilannya paling mencolok diantara kedua rekannya.
Skripsi
II-11
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Marley memiliki tubuh kurus dan digambarkan memiliki “Mr. P” yang kecil.
Namun hal ini tidak mengurangi kemampuannya dalam menjalankan tugas.
II.2.2. Karakter-karakter Pendukung dalam film Quickie Express
A. Mudakir
Mudakir merupakan pemilik dari usaha gigolo sekaligus atasan dari Jojo, Piktor
dan Marley. Mudakir digambarkan sebagai orang Arab yang memiliki
kecenderungan menyukai sesama jenis. Ia bertugas untuk “memburu” para pria
yang nantinya akan dijadikan mesin seks tahan banting. Mudakir menemukan Jojo
di salah satu tempat tambal ban. Ia juga yang merayu Jojo untuk berprofesi
sebagai gigolo. Selain itu, ia pula yang mengatur Jojo menjadi eksklusif untuk
tante Mona. Untuk menutupi usaha yang sebenarnya, Mudakir membuat rumah
makan yang menjual pizza yang bernama, Quickie Express.
B. Lila
Lila digambarkan sebagai seorang wanita yang lembut dan polos. Lilal berprofesi
sebagai seorang dokter yang bertugas di sebuah rumah sakit. Pertemuan pertama
Lila dengan Jojo terjadi saat Jojo, Piktor dan Marley terlibat perkelahian di sebuah
cafe. Pada insiden itu, Lila pingsan setelah terkena pukulan dari kekasihnya. Jojo
menyelamatkan Lila, dan pertemuan selanjutnya membuat mereka semakin dekat.
Yang tidak diketahui Jojo, Lila adalah anak perempuan dari Jan Pieter Gunarto,
seorang penjahat kelas kakap, yang memiliki istri tante Mona, pelanggan eksklusif
Jojo.
Skripsi
II-12
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
C. Tante Mona
Tante Mona digambarkan sebagai seorang wanita kesepian yang bersuamikan
seorang gay. Tante Mona merupakan istri dari Jan Pieter Gunarto dan ibu dari
Lila. Sebagai pelanggan setia Jojo, secara tidak sadar, tante Mona ingin memiliki
Jojo sepenuhnya. Bahkan ia mengancam akan membeberkan semua rahasia
kepada Lila dan Jan Pieter Gunarto jika Jojo tidak mau memenuhi permintaannya.
D. Jan Pieter Gunarto
Seorang preman kelas kakap yang berdarah dingin. Di sisi lain, ia adalah suami
dari tante Mona dan ayah bagi Lila. Konflik muncul ketika Jan Pieter Gunarto
mengetahui bahwa wajah Jojo sangat mirip dengan mantan kekasihnya yang telah
meninggal. Dan ia mencoba merayu Jojo untuk menjadi kekasihnya.
E. Mateo
Mateo adalah tangan kanan dari Jan Pieter Gunarto. Digambarkan dalam film ini,
Mateo adalah sosok yang keras, setia sekaligus pencemburu. Kenyataan yang
lebih mengejutkan ternyata Mateo adalah kekasih dari Jan Pieter Gunarto. Rasa
cemburunya yang besar membuatnya ingin membunuh Jojo.
Skripsi
II-13
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB III
PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA
Film, seringkali mengambil fenomena-fenomena yang terjadi dalam
masyarakat, untuk kemudian diolah kembali. Proses pengolahan antara lain adalah
pembuatan adegan, sinematografi, alur cerita dan sebagainya. Sehingga hal-hal
tersebut menjadi faktor pendukung untuk memaparkan kepada masyarakat
fenomena yang berhasil ditangkap oleh si pembuat film. Sehingga, film tersebut
merepresentasikan apa yang sebenaranya telah jadi di tengah masyarakat.
Salah satu metode dalam meneliti sebuah film adalah semiotik. Sehingga
yang akan dicari adalah makna dari simbol-simbol dalam film Quickie Express.
Terkhusus simbol-simbol yang mendukung penggambaran gigolo dalam film
tersebut. Yang menjadi inti adalah gigolo dan hubungannya dengan pekerjaan,
kemerdekaan dalam memilih klien, komunitas bawah tanah, serta gigolo yang
insyaf. Film Quickie Express sendiri menggunakan alur flashback.
III. 1. Gigolo Sebagai Sebuah Pekerjaan
Gambar 3.1
Adegan Jojo Bertemu Mudakir di
Tempat Tambal Ban
SCENE
9
Skripsi
DIALOG
J: gue tanya ne skali lagi
ye, lo ngapain kesini pak?
M: sebenarnya ane
pemburu
SOUND
Ambience
lingkungan
pinggiran
III-1
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
SHOT
Medium Close Up
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
J: pemburu apaan?
M: rubah, and you are my
fox
J: ane ga demen ama laki
laki
---------------------Mudakir: ente suka kerja
dimari?
Jojo: gue demen bener kerja
disini..liat noh, kendaraan
dines, liburan 3 bulan sekali
ke bangkok, dana pensiun,
belom lagi kalo gue
manggut2 gue dapet laptop
M: ente mau kerjaan yang
gampang, tapi bisa
memberikan semua fasilitas
itu?
J: kerjaan apaan
M: masuk ke mobil
J: ogah gue lupain aje..
M: ee bahlul..ane akan
masuk ke mobil dan ane
akan tunggu ente selama 60
detik. Kalo ente juga masuk
ke mobil itu, ane akan kasi
ente pekerjaan terhebat
yang pernah ente dapet..
ee..inget ya..60 detik
Close Up
Medium Close Up
Ambience
lingkungan
pinggiran
Close Up
Tabel 3.1
Analisis Denotasi Gambar 3.1
Sebelum menjadi seorang gigolo, sebelumnya Jojo bekerja di sebuah
tempat tambal ban di pinggir jalan. Profesi sebagai peambal ban biasanya identik
dengan orang-orang kelas ekonomi menengah kebawah yang tidak memiliki bekal
pendidikan yang memadai untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Saat itulah
Jojo ditemukan oleh Mudakir yang tak lain adalah seorang “pemburu”. Pemburu
disini berarti adalah seorang mucikari yang mencari calon gigolo serta
memasarkan gigolo.
Skripsi
III-2
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Jojo dianggap mampu memenuhi kriteria pria idaman wanita. Dengan
sedikit rayuan dari Mudakir, Jojo akhirnya ikut ke Quickie Express dan berubah
menjadi seorang gigolo. Dengan iming-iming pendapatan berlimpah, Jojo yang
berasal dari perekonomian pas-pasan akhirnya mau menjadi gigolo. Hal ini
menunjukkan motivasi ekonomi memang sangat kuat. Tak hanya gigolo saja,
namun begitu juga pekerja seks wanita. Banyak para wanita yang memutuskan
untuk terjun ke dunia pelacuran karena tergoda dengan iming-iming harta
berlimpah (Abdi, 2007: 13).
Gambar 3.2
Adegan Jojo Bertemu Klien
Pertama di Cafe
SCENE
15
DIALOG
Jojo: Quickie Express..
Klien: yes
J: udah lama nunggu tante?
K: it’s worth it
J: yes worth it yes
K: you know what, I think
your not just a preety face,
but you’re a smart man too
J: ahaa.. yes..
K: I’d like have a long chat
after sex
J: yes..smart sex…
me..smart sex
K: of course
J: later tante and me can ee
bicara sepanjang yg tante
suka
K: I’m sure we will..
SOUND
Music slow
Ambience
keramaian
SHOT
Very Long Shot
Medium Close Up
Medium Close Up
Medium Close Up
Tabel 3.2
Analisis Denotasi Gambar 3.2
Skripsi
III-3
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Pada scene ini, Jojo bertemu dengan klien pertamanya di sebuah cafe.
Sebagai “pemain baru” dalam dunia gigolo, Jojo masih terlihat canggung. Dari
dialog dapat dilihat bahwa Jojo sebagai gigolo menjanjikan servis pada kliennya.
Sebagai gigolo yang profesional, kepuasan pelanggan adalah yang utama.
Gambar 3.3
Adegan Marley Melayani Klien pertamanya
SCENE
17
Skripsi
DIALOG
Marley (M): Quickie Express...
Tante (T): aku mau kamu pake baju
itu
M: hehe baju itu?
Tante: iya baju itu sayang..
M: ahhaha..
T: kerjakan!!!..setrap nanti
=============
M: man..sesek man
T: sekarang..kamu baca buku
ini..buka buka...
M: ini budi ini ibu budi
T: ah.....terus...
M: ini bapak budi
T: oh yeah..teruus..
M: Ini kakak budi. Bapak dan budi
pergi ke pasar..
T: yeaahh..
M: bapak dan budi..perg...
III-4
SOUND
-
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
SHOT
Long Shot
Medium
Close Up
Medium
Close Up
Medium
Close Up
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
T: dieja dieja...
M: B..B..U.. Bu
T: dieaja..
M: D...I..Di Budi..
T: ahh...budi kenapa
M: wa...wati..
T: wati kenapa
wati..auhhh...iyyyoo...ahh..cukup..taro
bukunya..sekarang kamu buka
celananya..
hahahha..kecil sekaliii..imut imut..
M: no maann
Medium
Close Up
Tabel 3.3
Analisis Denotasi Gambar 3.3
Sama seperti Jojo, saat Marley berhadapan dengan klien pertamanya, ia
diminta untuk berperan sebagai anak kecil yang belajar membaca. Bagaimanapun,
sebagai seorang gigolo yang profesional, apapun permintaan dari konsumen,
haruslah dipenuhi.
Namun, pada saat klien mengatakan bahwa ukuran kelamin Marley ‘imutimut’, ia tidak terima dan langsung menerkam sang klien. Ukuran kelamin pria
kadang menjadi suatu ukuran bagi kepuasan dan kenikmatan yang bisi diberikan.
Sebagai seorang pria, ukuran adalah hal yang sangat sensitif, sehingga saat
disinggung mengenai ukuran, sisi kelaki-lakian Marley berontak dan ingin
menunjukkan maskulinitasnyanya terhadap perempuan dimana merupakan
kliennya.
Skripsi
III-5
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Gambar 3.4
Adegan Jojo Melayani
Tante Mona di Hotel
SCENE
42
DIALOG
TM: Please..cheers..
Dari tadi kamu perhatikan
aku terus
J: sorry, tapi tante benerbener cantik
TM: oya?
J: sebenarnya tante bisa
dapetin laki-laki manapun
yang tante mau, ga perlu
manggil gigolo kaya saya..
…
TM: jo, you’re the best
baby..ee..sadar ga si kamu,
kita kan belom makan
malem sayang..kita makan
malem dulu yuk jo...
J: gimana kalo laen kali
tante..aku harus balik ke
Quickie Express
TM: berapa nomer telepon
kamu?
J: kita ga blh kasih nomer
telepon kita ke klien
TM: ya udah..
Aku tanya om Mudakir
J: okay..
TM: hey..gimme a kiss..
(berciuman)
TM: bye jo
SOUND
-
SHOT
Long Shot
-
Medium Close Up
-
Medium Close Up
-
Medium Shot
-
Medium Close Up
-
Medium Close Up
Tabel 3.4
Analisis Denotasi Gambar 3.4
Skripsi
III-6
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Scene antara Jojo (J) dan Tante Mona (TM) ini bertempat di dalam
sebuah kamar hotel. Dimana mereka memulai dengan obrolan-obrolan ringan,
yang nantinya berujung pada peraduan. Bagi para gigolo, tentunya mereka tidak
asing dengan kamar hotel. Bahkan bagi beberapa orang, kamar hotel sudah
merupakan tempat wajib untuk menunaikan tugas.
Dalam scene ini pula, terlihat bahwa Jojo sudah semakin profesional, dia
tidak lagi seorang gigolo kemarin sore. Dapat kita lihat bagaimana Jojo dapat
membuat Tante Mona merasa nyaman dengan buaian kata-kata. Jojo berhasil
membaca karakter kliennya.
Ini adalah salah satu kunci keberhasilan bagi seorang gigolo. Selain itu,
karena alasan profesionalitas, gigolo seringkali memberi batasan kepada para
kliennya. Tentunya, ini berguna untuk menjaga hubungan emosional agar tidak
terlampau dalam.
Gambar 3.5
Adegan Jojo Menemani
Tante Mona di Kapal layar
SCENE
53
Skripsi
DIALOG
TM: hey..
J: hai..aku liat lumba-lumba
barusan
TM: o ya?
J: iya..
....
TM: kamu dari tadi senyum
III-7
SOUND
Ambience suara
ombak di laut
SHOT
Long Shot
Ambience suara
Medium Close Up
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
terus, kenapa si?
J: aku lg jatuh cinta
TM: ehhehe..kamu ga perlu
ngmg gt kalo Cuma buat
nyenengin aku jo..
J: maksudnya bukan sama
tante
TM: oo...
ombak di laut
Tabel 3.5
Analisis Denotasi Gambar 3.5
Scene yang berada di atas kapal layar ini menunjukkan, bahwa selain
uang, seorang gigolo juga mendapatkan kesenangan extra, seperti berwisata
bersama klien. Jojo sebagai seorang gigolo yang berhasil membuat Tante Mona,
berhasil mendapatkan bonus tersebut. Ia diajak untuk mengarungi samudra
bersama-sama di atas sebuah kapal layar. Tentu saja, ia tetap harus menunaikan
kewajibannya untuk melayani Tante Mona.
Dari dialog Jojo dengan Tante Mona, terlihat bahwa Tante Mona sedikit
berharap Jojo jatuh cinta kepadanya. Namun, hal itu dimentahkan oleh Jojo. Ini
memperjelas karakter dari gigolo bahwa mereka ingin menjauhkan perasaan cinta
dari urusan pekerjaan. Saat mereka bekerja, itu hanyalah sebatas pekerjaan, dan
bukan karena cinta. Hal ini disebabkan, bagi sebagian gigolo, mereka tidak ingin
nantinya terjebak dalam perasaan mereka sendiri. Selain itu, tentunya cinta akan
mempengaruhi profesionalitas mereka.
Gambar 3.6
Adegan Jojo Memenuhi
Ancaman Tante Mona
Skripsi
III-8
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
SCENE
59
DIALOG
TM :I think i know how to
solve our problem now..
J: gimana?
TM: kita pergi dari sini, ke
luar negeri, aku cukup
punya banyak uang untuk
tinggal disana...
Please Jo, i’m so in love
with you jo please...
J: aku sayang sama Lila
tante..
TM: bullshit..kamu suka
sama dia cuma karena dia
masi muda..
J: tante ga akan bisa ngerti..
SOUND
-
SHOT
Long Shot
Medium Close Up
Medium Shot
Tabel 3.6
Analisis Denotasi Gambar 3.6
Scene ini memperkuat bahwa gigolo anti jatuh cinta dan bermain perasaan
dengan kliennya. Saat Jojo bertemu dengan Tante Mona di sebuah kamar hotel.,
Tante Mona ingin mengajak Jojo untuk pergi ke luar negeri. Ia ingin hidup
bersama dengan Jojo dan meninggalkan suami serta anaknya. Ditambah lagi
dengan pernyataan “I’m so in love with you Jo”, semakin mempertegas bahwa
Tante Mona jatuh cinta kepada Jojo.
Namun, Jojo menolaknya dengan alasan, ia mencintai Lila, yang tidak
lain adalah anak dari tante Mona bersama suaminya, Jan Pieter Gunarto.
Skripsi
III-9
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Gambar 3.7
Adegan Marley Memperkenalkan
Raja Jahanam pada Jojo dan Piktor
SCENE
31
DIALOG
J: gila cape banget gue hari
ini, sampe kaya ga ada
tulangnya
Dapet brapa lu tor?
P: 2 lo
J: 3 lo ley?
M: ehem..9
P: hah??
J: dapet 9 lo?
P: lo pake apa lo piagra?
M: no man, gua mah ga
perna pake kaya
gituan..haram..
----------------------M: Raja Jahanam..yeaahh..
P: hah?
M: iye ini namanya raja
jahanam..cara pakenye
ye..dikluarin, potek
dikit..tak..trus gitu lo
masukin ke aer
anget...kocok kocok..
na uda gitu..lu olesin ke
itunya elo..oles
bawah..set..oles atas.. tas...
J: lo dapet dari sape?
M: dari om mudakir..dari
arab emang,,,
J: ..terpercaya...
SOUND
-
SHOT
Medium Close Up
Medium Shot
-
Close Up
Tabel 3.7
Analisis Denotasi Gambar 3.7
Skripsi
Gambar
III-103.
Studi Semiotik Representasi
Gigolo dan
DalamMarley
Film “Quickie Express”
Jojo, Piktor
Berolahraga
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Gambar 3.8
Adegan Jojo, Marley dan Piktor Sedang
Berolah Raga
Dialog antara Jojo (J), Piktor (P) dan Marley (M) di sebuah cafe 24 jam
setelah mereka bertugas menunjukkan bahwa pekerjaan mereka sebagai gigolo
memang membutuhkan stamina yang kuat dan tenaga extra. Untuk memenuhi
kebutuhan itu, tak jarang para gigolo menggunakan jamu-jamuan.
Jamu yang digunakan pun sesuai dengan kegunannya, yaitu menambah
stamina saat mereka “bertugas” di ranjang. Selain itu agar tidak mudah sakit
akibat kelelahan. Dalam scene di sebuah cafe tersebut, Marley menggunakan Raja
Jahanam untuk daya tahannya di ranjang. Jamu pemberian dari Mudakir ini pula
yang digunakan oleh Jojo dan Piktor dengan tujuan bisa mendapat dan
memuaskan lebih banyak pelanggan.
Selain menggunakan jamu dan ramuan tradisional, para gigolo juga
menjaga kebugaran tubuh dengan berolahraga. Hal ini terlihat pada scene dimana
Jojo, Marley dan Piktor berlatih bersama dengan instruktur mereka.
Semakin banyak pelanggan yang terlayani, semakin besar pula imbalan
yang akan didapatkan. Hal ini sangat berhubungan dengan profesionalitas yang
Skripsi
III-11
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
diemban oleh seorang gigolo dalam menjalankan tugasnya. Selain itu stamina dan
daya tahan diatas ranjang juga merupakan simbol maskulinitas.
III. 2.Gigolo dan Kemerdekaan Dalam Memilih Klien
Gambar 3.9
Adegan Jojo Dirayu
Jan Pieter Gunarto
SCENE
62
DIALOG
JP: look at me, liat saya...
SOUND
-
(JP menciumi Jojo, namun
ditolak)
please..saya kangen saya
kangen sama bram, saya
sangat kangen sama dia. He’s
the greatest.
Saya kasih kamu apa saja…
apa saja, kalo kamu mau jadi
pengganti Bram. He was the
love of my life. I love him, I
love him..please..please..kiss
me please..kiss me..
J: om saya ga bisa om..
JP: kiss me..
Skripsi
III-12
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
SHOT
Medium Close Up
Long Shot
Medium Close Up
Medium Close Up
Long Shot
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
J: om saya ga bisa om..
JP: kiss me, i love him
Tabel 3.8
Analisis Denotasi Gambar 3.9
Dalam scene yang bertempat di rumah Jojo ini, terlihat karakter dari
seorang gigolo. Saat Jojo didekati oleh Jan Pieter Gunarto (JP) yang notabene
adalah seorang gay, awalnya ia hanya terdiam. Setelah Jan Pieter Gunarto
menjelaskan bahwa mantannya di masa lalu yang bernama Bram memiliki wajah
yang mirip dengan Jojo, ia mulai merayu dan memohon Jojo untuk menjadi
pengganti Bram yang telah tiada. Bahkan ia rela memberi apa saja asalkan Jojo
mau menggantikan posisi dari Bram sebagai kekasih Jan Pieter Gunarto. Namun
Jojo menolak, hingga saat Jan Pieter Gunarto mulai menciumnya, Jojo pun
berontak.
Disini terlihat bahwa seorang gigolo tidak secara sembarangan dalam
menerima kliennya. Hal ini berbeda dengan pekerja seks komersil wanita yang
hanya bisa pasrah siapapun konsumennya. Gigolo dapat menolak dan memilih
siapa yang akan dia layani. Dari sini terlihat bagaimana nilai patriarki tergambar
jelas dalam sosok seorang gigolo.
Gambar 3.10
Adegan Saat Jojo Disergap
Tante Mona di Toilet
SCENE
Skripsi
DIALOG
SOUND
III-13
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
SHOT
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
56
-
TM: Jojo...
J: tante kluarga tante ada
diluar..
TM: biarin jo..biarin..
J: tante ak lg engga kerja
hari ini...
TM: aku bisa beli kamu
kapan aja aku mau..
J: tante..
Medium Shot
Medium Long
Shot
Tabel 3.9
Analisis Denotasi Gambar 3.10
Scene ini berlangsung di kamar mandi. Saat Jojo sedang membersihkan
diri, Tante Mona tiba-tiba masuk dan menyergap Jojo dan memaksanya untuk
melayaninya. Namun, Jojo menolak dengan alasan bahwa dia tidak sedang
bertugas dan mereka sedang berada di rumah Tante Mona yang lengkap dengan
suami dan anaknya. Tante Mona tetap memaksa untuk dilayani, namun tidak
berhasil.
Sekali lagi, budaya patriarki dalam diri seorang pria terlihat. Meskipun
Jojo adalah seorang gigolo, namun ia tetap dapat menentukan, kapan dia bekerja
dan kapan dia sedang tidak bertugas. Gigolo juga dapat menentukan apakah dia
mau melayani atau tidak. Hal ini adalah poin yang tidak dimiliki oleh para pekerja
seks yang lain seperti pekerja seks wanita dan pekerja seks waria.
III. 3.Gigolo Sebagai Komunitas Bawah Tanah
Skripsi
III-14
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Gambar 3.11
Adegan Saat Jojo Diajak Mudakir
Ke Quickie Express
SCENE
11
DIALOG
Mudakir: ente pasti
bertanya tanya kemana ana
mo bawa ente. Percaya
sama ana jo, pekerjaan
terhebat, sudah didepan
mata ente.
SOUND
----------------------M: dulu disini ada
pangkalan militer Jepang.
setelah Jepang pergi, tanah
ini jatuh ke tangan abah
ana. Tapi baru 10 tahun lalu
ana tahu bahwa dibawahnya
ada bunker besar yang dulu
dibikin buat tempat orang2
jepang sembunyi kalo
terjadi perang.
Akhirnya ana jadikan
tempat pelatihan.
J: tempat pelatihan ape?
M: selamat datang di
Quickie Express Training
Center
SHOT
Medium Long
Shot
Medium Shot
Medium Shot
Medium Long
Shot
Tabel 3.10
Analisis Denotasi Gambar 3.11
Dalam scene ini, Mudakir membawa calon gigolonya menuju ke markas
besar. Mulai dari kedok restoran pizza bernama Quickie Express, meyusuri tangga
Skripsi
III-15
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
menuju lorong bawah tanah, hingga menuju ke bekas bunker bawah tanah yang
telah disulap menjadi tempat pelatihan. Hal ini secara tidak langsung
menunjukkan bahwa gigolo tidak pernah secara terang-terangan dalam membuka
jasanya. Mereka sangat tertutup dan rapi dalam menyimpan kegiatannya.
Dari scene ini terlihat bahwa keberadaan gigolo tidak pernah terlihat jelas
seperti layaknya keberadaap prostitusi perempuan dan waria sekalipun. Gigolo
biasanya terbagi menjadi dua bagian, yang terorganisir dan yang tidak
terorganisir. Namun, keduanya sama-sama terselubung. (Kadir,2007:144). Bila
dibandingkan dengan gambar dibawah, akan terlihat jelas perbedaan antara gigolo
dan pekerja seks wanita.
Gambar 3.12
Potret Pekerja Seks Wanita.
Terlihat perbedaan yang signifikan pada saat gigolo bekerja dan pekerja
seks wanita bekerja. Pekerja seks wanita cenderung lebih terbuka di tengah
masyarakat. Bahkan terkesan mereka dipajang untuk menarik para konsumen. Hal
berbeda dimana gigolo bertugas.
Digambarkan dalam film Quickie Express gigolo di Indonesia sangat
tertutup keberadaannya. Hal ini berbeda pula dengan penggambarang gigolo pada
film Deuce Biggalow: European Gigolo yang digambarkan komunitas gigolo
sudah muncul ke permukaan lapisan masyarakat. Hal ini tentunya menunjukkan
Skripsi
III-16
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
bahwa masing-masing negara dipengaruhi kebudayaan masing-masing dalam
menyikapi fenomena seksualitas yang terjadi di tengah masyarakatnya.
III. 4.Gigolo Insyaf
Gambar 3.13
Adegan Saat Piktor dan Marley tak lagi
menjadi gigolo
SCENE
76
77
DIALOG
Narasi Jojo: OK sptnya
semua uda berubah
sahabat-sahabat gue,
brusaha mengejar
mimpinya.
Piktor emg g ada matinya
dia
Marley, emang ga ada
malunya ne anak
SOUND
Music
SHOT
Medium Shot
Medium Shot
Tabel 3.11
Analisis Denotasi Gambar 3.12
Suatu kemajuan yang cukup luar biasa ketika seorang pekerja seks bisa
kembal ke jalan yang benar. Gambar diatas menunjukkan bagaimana Piktor dan
Marley yang notabene adalah gigolo kelas atas bisa memilih untuk kembali ke
kehidupan normal. Saat banyak orang ingin terjun kedalam dunia prostitusi,
mereka berdua berhasil mengentaskan diri.
Hal ini dapat dikaitkan dengan permasalahan moral. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa pekerja seks sudah dianggap menjadi penyakit di tengah
Skripsi
III-17
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
masyarakat. Dengan keinginan mereka untuk pensiun dari gigolo, hal ini
menunjukkan mereka sudah meperhatikan permasalahan moral yang selama ini
teralihkan oleh kebutuhan ekonomi.
Skripsi
III-18
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
IV.1. Kesimpulan
Dalam film Quickie Express terlihat jelas bahwa penggambaran seorang
gigolo dalam menjalankan pekerjaannya selalu menjunjung tinggi profesionalitas.
Selain itu, gigolo dalam pekerjaannya juga dapat menempatkan posisi dirinya
lebih tinggi dari pada konsumennya. Hal ini tidak lepas dari kebudayaan di
Indonesia yang menganut sistem patriarkal, dimana perempuan diposisikan lebih
rendah daripada laki-laki. Ironisnya, tingkat perempuan yang lebih rendah, justru
yang membayar jasa dari pada gigolo yang bersangkutan.
Dari budaya patriarki tersebut, gigolo juga dapat memilih siapa konsumen
yang akan mereka layani. Selain itu, gigolo juga mendapat penggambaran serupa
sesuai dengan yang terjadi di tengah masyarakat, yaitu organisasi gigolo sangat
tertutup dan nyaris tidak terlihat di tengah-tengah masyarakat. Ini terlihat jelas
melalui posisi dari markas Quickie Express yang bertempat di bawah tanah.
Sebagai penutup, digambarkan gigolo yang kembali ke jalan yang benar.
Hal ini menunjukkan, tidak tertutup kemungkinan untuk hidup sebagaimana
manusia lainnya dengan pekerjaan yang lebih layak.
IV.2. Saran
Dalam penelitian serupa, diharapkan peneliti dapat memperoleh rujukan
mengenai film-film yang mengangkat mengenai gigolo di dunia. Hal ini dapat
dijadikan pembanding terhadap film-film dengan tema serupa di Indonesia.
Skripsi
IV-1
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Selain itu, peneliti diharapkan dapatlebih mengangkat sisi yang belum
tersentuh mengenai para pekerja seks, khususnya gigolo.
Skripsi
IV-2
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa, Jakarta:
Komunitas Bambu
Brock, Malin Lidström. 2006. Encyclopedia of prostitution and sex work,
Greenwood Press, United States of America
Bungin, Burhan. 2008. Sosiologi Komunikasi, Jakarta: Kencana
Dewan Film Nasional.1994. Apresiasi Film Indonesia, Jakarta: Dewan Film
Nasional
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta:
LkiS
Fiske, John. 2001. Television Culture, New York: Routledge
Fiske, John. 1996, Introduction to Communication Studies, Second Edition,
London and New York: The Guernsey Press Co. Ltd
Kadir, Hatib Abdul. 2007. Tangan Kuasa Dalam Kelamin, Yogyakarta: Insist
Press
Kristanto, J.B. 2007. Katalog Film Indonesia 1926-2007, Jakarta: Nalar
Lacey, Nick. 1998. Image and Representation, New York: St. Martin’s Press,Inc
Himawan. 2008. Memahami Film, Yogyakarta: Homerian Pustaka
Sobur, Alex. 2004, Semiotika Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Stokes, Jane. 2006. How to do Media and Cultural Studies: Panduan Untuk
melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya, Yogyakarta:
Bentang
Thompson, Roy, and Bowen, Christopher. 2009. Grammar of The Shot: Second
Edition, Elsevier Inc.
Turner, Graeme. 1999. Film as Social Practice: Third Edition, New York:
Routledge
Skripsi
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
Thwaites, Tony. 2009. Introducing Cultural and Media Studies: Sebuah
Pendekatan Semiotik, Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra
Weitzer, Ronald. 2010. Sex for Sale, New York: Routledeg
SUMBER NON-BUKU
Skripsi:
Mawardhani, Agustina. 2005. Studi Semiotik Penggambaran Keperawanan pada
Remaja Melalui Film “Virgin : Ketika Keperawanan Dipertanyakan”,
Departemen Komunikasi, Universitas Airlangga
Lestari, Denok Puji. 2008. Fenomena Gigolo Eksklusif di Surabaya, Departemen
Sosiologi, Universitas Airlangga
Jurnal:
Muslich, Masnur, 2008. Kekuasaan Media Massa Mengontruksi Realitas
Internet:
Media Representation
http://www.aber.ac.uk/media/Modules/MC30820/represent.html
diakses pada 22 November 2009
Semiotics for Beginners: Introduction
http://www.aber.ac.uk/media/Documents/S4B/sem01.html
diakses pada 23 November 2009
Semiotics for Beginners: Sign
http://www.aber.ac.uk/media/Documents/S4B/sem02.html
diakses pada 23 November 2009
Semiotics for Beginners: Modality and Representation
http://www.aber.ac.uk/media/Documents/S4B/sem02a.html
diakses pada 24 November 2009
Wawancara Media Dengan Dimas Djayadiningrat
http://www2.kompas.com/ver1/Hiburan/0711/17/203908.htm
diakses pada 6 Mei 2009
Skripsi
Studi Semiotik Representasi Gigolo Dalam Film “Quickie Express”
Marphin G. F S